Maya sedang membaca buku di depan kelas ketika Radi mendekatinya dan memasangkan bunga di telinga gadis itu. Ia sempat melirik ke kiri dan kanan, memastikan tak ada yang sedang mengawasi mereka.
"Apaan sih Radi?" tanya gadis itu sedikit kesal.
"Bunga yang cantik untuk gadis yang cantik."
Pipinya sempat merona sebelum akhirnya gadis itu menghindar dengan menutup wajahnya menggunkan buku. Di sisi lain, Nora dan Nia tampak memperhatikan hal itu dari jauh, ketika kemudian Mika yang baru pulang dari kantin dengan membawa stik bawang langsung diberhentikan oleh mereka dan diajak menonton.
"Mika sini, deh."
"Mau apa?"
"Nonton drama."
"Drama Korea?"
"Iya duduk sini," tambah Nora sudah menempatkan Mika di posisi tengah agar mereka bisa dengan mudah menjarah stik bawang gadis itu. Memakannya seperti tengah memakan pop corn di bioskop.
"Liat tuh, Maya sama Radi."
"Eh, drama nyata nih ceritanya?"
"Ya iya, padahal bukannya Maya itu pacarnya Alvin, ya?"
"Dengar-dengar sih gitu,"
Mereka kembali fokus melihat Radi yang semakin lama semakin berani, Mika memang mendengar berita bahwa Radi baru saja putus dari pacarnya yang beda sekolah. Padahal mereka sudah menjalin hubungan cukup lama, konon katanya bahkan sejak SD. Yang lebih parahnya lagi, tadi saat di kantin Rendra mendekatinya dan meminta nomor Mika, atas nama Radi. Tapi melihat apa yang dilakukan pemuda itu sekarang, Mika yakin bahwa dia cuma sedang mencari pelampiasan. Bukan move on namanya kalau sekali tebar jala, langsung ke banyak sungai. Gadis itu bersyukur ia tak terlanjur memberikan nomornya.
"Eh, itu Alvin tuh," tunjuk Nia yang membuat lamunan Mika buyar. Digantikan penampakan Alvin dan Maya di depan sana. Sedangkan Radi sudah pergi entah sejak kapan.
Nora manyomot stik bawang sekali lagi dan maju selangkah. Mencoba mempertajam pendengarannya. "Wah bakal seru nih. Gimana ya kira-kira reaksinya?"
"Kita hitung ya," ajak Nora memimpin. "Satu ..."
"Dua," tambah Nia.
"Tiga," lanjut Mika ikut-ikutan.
Tak ada hal apapun yang terjadi. Alvin hanya menatap Maya dengan tajam. Tanpa ada niat mengeluarkan sepatah kata lebih dulu. Gadis itu menggigit bibir bawahnya gugup, juga mengedarkan pandangan ke segala arah asalkan tidak melihat bagaimana tatapan Alvin padanya.
"Ka Alvin, kenapa?" tanya Maya pada akhirnya.
"Gak apa," sahut Alvin jutek.
"Kok jawabannya dingin gitu? Aku salah apa?"