Mika menatapi layar gawainya yang menampilkan aplikasi WhatsApp. Layarnya masih kosong karena gadis itu baru saja menginstalnya.
"Eh, Rasya, seru kali ya kalo kita bikin grup kelas?" tanya Mika pada teman sebangkunya itu.
"Ide bagus tuh, buat aja Mik," jawab Rasya setuju.
"Tapi nama grupnya apaan?"
Rasya menggumam. Tangannya beralih mengudap dagu dengan mata yang menatap langit-langit kelas, mencari jawaban.
"Kelas sebelas agama?"
Mika segera menggeleng. "Ih standar, yang bagus dong."
"Apa ya?"
Keduanya masih tenggelam dalam pikiran masing-masing. Seolah berlomba siapa yang akan lebih dulu mendapatkan ide. Hingga Mika melirik kitab tanqihul qaul di mejanya. Kitab yang tadi mereka pelajari bersama Pak Mahbub. Sehari-hari, mereka sekelas selalu dijejali dengan hadits-hadits dari sana. Mika pikir, mungkin akan cocok jika nama kitab itu mewakili kelasnya.
"Tanqihul qaul itu artinya apa ya?" tanya Mika lagi.
"Gak tau juga." Rasya meraih kitab tipis berwarna ungu itu dan melirik ke arah Mika ragu. "Emang mau pakai itu?"
"Menurut kamu bagus?"
"Bagus, tapi agak susah nyebutnya."
"Iya juga ya." Mika menghela napasnya dan menjatuhkan kepalanya di meja. Membuat matanya menatap tepat ke arah kitab lainnya. "kalo safinatun najah aja gimana?" sarannya lagi.
"Sederhana, bagus sih."
"Artinya Perahu menuju kesuksesan," lanjut gadis itu yang memang pernah mendengar arti dari judul kitab itu dari Pak Dendi. "Jadi maksudnya itu kelas kita ini laksana perahu yang ngater kita menuju kesuksesan."
"Woah, keren Mik, itu aja."
"Oke, aku bikin ya.
Mika dengan semangat memasukkan satu persatu kontak yang ia punya ke dalam grup. Teman-temannya yang tadinya sedang sibuk dengan urusan masing-masing jadi melirik ke gawai mereka saat ada notifikasi. Rendra menyengir, dengan cepat mengirimkan pesan pertama dalam grup itu. Meskipun mereka semua berada dalam satu ruangan yang sama percakapan tetap terjalin dengan seru.
Rendra : Apaan neh?