"Katanya kemarin ada perang dunia di asrama putra," bisik Nora pada Nia. Meski kenyataannya terdengar sampai ke telinga Mika.
"Kata siapa?"
"Kata Rendra."
"Perang dunia gimana?"
"Tama ngamuk, berantem sama Wira."
Mika yang sedang menulis jadi berhenti, beralih menoleh pada Wira di sampingnya. Pemuda itu memang tengah duduk sendiri, menatap kosong meja di hadapannya. Mika merutuk dalam hati, ia seharusnya menyadari perubahan Wira. Pemuda itu selalu tersenyum cerah beberapa hari terakhir, tapi mendungnya hari ini tak cepat mengusik gadis itu. Tama yang juga jadi tokoh utama lain dalam pembicaraan itu juga tak terlihat sedari tadi, tasnya bahkan juga belum kelihatan. Padahal biasanya, tas Tama sudah ada di kelas jauh sebelum Mika datang.
"Kok gitu sih? ukannya mereka temen deket, ya?"
Pembicaraan itu masih berlanjut. Nia yang terlihat sangat penasaran tak berhenti bertanya pada Nora. Tak mempedulikan kehadiran Wira di kelas yang sama. Mika menghentak-hentakkan kakinya, membuat keributan sebisa mungkin agar suara bisikan nyaring itu segera berakhir. Ia bahkan menatap lama ke arah Nora, hendak memberi kode, tapi sayangnya gadis itu terlalu asik bercerita pada Nia.
"Iya, katanya sih Wira jadian sama Nila."
Semua gadis di kelas, selain Mika, langsung memasang ekspresi terkejut. Menengok bersamaan pada Wira, meski pada akhirnya sama-sama membuang pandangannya ketika Wira balik menatap mereka. Mika semakin gemas karena pemuda itu seolah membiarkan saja orang-orang menggunjingkan dirinya. Merasa usahanya tak berhasil, Mika memilih berhenti. Ia kembali duduk dengan tenang meski telinganya masih memasang pendengaran yang tajam kalau nanti pembicaraan itu menjadi semakin tak terkendali, Mika berniat mengajak Wira keluar dari kelas saja.
"Wah, kok bisa?" tanya Sara menggeleng-geleng tak habis pikir.
"Kenapa juga sih si Tama marah? Kan mereka udah putus," balas Zatin ikut memberi komentar.
Nora yang sejak tadi menjadi sumber berita kembali menyahut, "Belum bisa move on kali, kan baru beberapa minggu."
Nia yang duduk di samping Nora juga yang lebih setuju dengan gadis itu. Ia tak mau ketinggalan menambahkan, "Walaupun gitu, kasian juga si Tama, terkhianati dua kali gitu. Udah diputusin Nila, ditikung Wira lagi."
"Udahlah gak tau juga, itu urusan mereka."
Tama datang ke kelas satu menit setelah lonceng tanda masuk dibunyikan. Pemuda itu tampak berantakan, tak seperti biasanya yang selalu berpakaian rapi dengan rambut tersisir ke samping. Rambut Tama hari ini jauh dari kesan tertata. Pemuda itu sempat terdiam sejenak memperhatikan keadaan kelas sebelum akhirnya masuk dan meraih kursinya, menggeretnya ke bagian belakang. Tanpa kata, meninggalkan Wira sendirian di situ.
"Perlu kami bantuin cari meja?" tanya Aldo saat melihat Tama yang tampak bingung karena tak ada meja lebih di kelas itu jika ia pindah tempat duduk.