"Edelweiss apaan, ya?" celetuk Rendra yang tengah sibuk dengan ponsel bersama Alvin di sebelahnya.
Mika menengok, nama bunga itu sudah tak asing lagi baginya. Edelweiss telah menjadi bunga kesukaan Mika sejak setahun lalu. Ketika gadis itu tanpa sengaja menemukan nama bunga itu dalam salah satu cerpen yang ia baca.
Katanya, Edelweiss adalah bunga langka yang berada jauh di puncak pengunungan. Hanya para pendaki hebat bernyali kuat yang bisa mendapatkan sang bunga yang melambangkan cinta abadi itu.
Ia tak tersentuh, tak terjamah, dingin dan anggun. Edelweiss menyukai hangatnya sinar mentari, tapi juga perlu hawa sejuk puncak gunung, hal itu yang menjadikannya jarang ditemui di tempat biasa. Melihat bunga berwarna putih yang kelopaknya seolah tertutupi salju saja adalah suatu kebanggan bagi para pencinta alam.
Sebab itu Mika pernah bilang bahwa ia ingin jadi bunga edelweiss yang tumbuh di puncak tertinggi pegunungan everest atau alpen. Menurut Mika, filosofi bunga itu benar-benar menggambarkan impiannya.
Orang lain melihat edelweiss sebagai bunga kecil yang polos karena warna putihnya, tanpa tahu bahwa sebenarnya ia kuat dan bisa menjaga diri, bertahan dari ancaman kepunahan. Terlihat dingin di luar, tapi sebenarnya juga punya sisi hangatnya sendiri. Edelweiss membuktikan pada Mika, bahwa tak perlu jadi mawar agar terlihat cantik. Edelweiss bisa sangat jelita dengan caranya sendiri.
Mika tak mendengarkan pembicaraan dua pemuda itu lagi. Ia bergegas mengambil tas dan berjalan keluar kelas. Menyusul Rasya yang sudah lebih dulu mencapai lapangan. Sesampainya di asrama, gadis itu tak berniat untuk beristirahat, melainkan mengambil satu persatu seragamnya yang berada di gantungan. Lantas berjalan riang menuju tempat cuci baju.
"Mika, nama Facebook kamu itu Mikayla Mi, kan?" tanya Sara saat Mika bari saja sampai.
Gadis itu tampak merenggangkan kakinya karena lelah harus berdiri di samping westafel untuk mencarger gawainya. Sudah jadi kebiasaan kalau colokan di asrama habis, colokan di depan kamar mandi itu jadi alternatif.
"Iya, kita udah temenan kok," kata Mika tanpa menengok. Mulai mengucek satu persatu seragamnya.
"Ini si Alvin yang tanya."
"Ngapain dia tanya?"
"Gak tau, minta nomor kamu juga katanya. Kasih, gak?"
Mika berpikir sejenak. Merasa aneh karena pemuda itu tiba-tiba bersikap seolah tertarik padanya. Mika mencoba mencari jawaban tentang apa yang membuat Alvin berbuat demikian. Tapi, memikirkan pemuda itu membuat Mika bergidik, ia menyesali perbuatannya yang sempat tersenyum beberapa waktu lalu. Meskipun mereka sekelas, Alvin dan Mika sangat jarang bicara. Jadi, Mika rasa Alvin tidak perlu menyimpan nomornya. Apalagi jika mengingat fakta bahwa ia baru saja putus dari Maya.
"Gak usah, jangan dikasih."
"Kok gitu? Siapa tahu penting."
"Aku gak ada kepentingan kok sama dia, gak ada tugas kelompok juga."
"Mungkin dia mau temenan?" Sara kali ini mengerling, dengan nada suara yang berubah menggoda.
"Kan udah temenan, satu kelas pula."
"Bisa aja kan mau lebih dari teman sekelas, suka mungkin?"
Tepat ketika itu Maya keluar dari dalam kamar mandi, baru saja mengganti seragamnya dengan baju biasa. Mata gadis itu tampak memerah dan lari sejurus kemudian.
Mika dan Sara terpana, saling pandang. Jeda beberapa detik sampai mereka melihat Maya yang masuk ke asrama hingga Mika melempari Sara dengan busa sabun hasil mencucinya.
"Ih, Mika jangan dong basah nih hp aku."