Para pelajar menunggu dengan jantung berdebar kencang serta hati yang dipenuhi kecemasan sejak melihat Bu Era menuliskan deretan angka di papan tulis. Hari ini adalah pelajaran matematika yang pertama usai ulangan tengah semester. Setelah menyelesaikan penjelasan materi, Bu Era menuliskan dua soal dan membagi papan tulis putih itu jadi dua, membentuk garis dengan spidol.
"Ayo, sekarang siapa yang bisa kerjakan ini di depan kelas?" tanyanya seraya mengedarkan pandangan ke segala penjuru, mencari mangsa.
"Joe aja Bu," kata Ge menyebutkan nama si pemuda tambun yang memang jago matematika itu.
"Jangan Joe terus, dong." Bu Era bersedekap. Berjalan pelan mengitari meja. "Yang lain?"
Semuanya merunduk, tak ada yang mau berkorban. Masing-masing berdoa dengan khusyuk dalam hati, berharap guru muda yang cantik itu lupa pada namanya.
"Alvin?" tanya Bu Era yang berhenti tepat di barisan tengah tempat duduk para pemuda.
Alvin hanya mengangguk. Tanpa kata, pemuda itu meraih spidol yang disodorkan guru matematikanya itu dan maju ke papan tulis. Penuh percaya diri mulai menulis deretan angka di depan sana. Sedangkan Bu Era kembali melangkah, kali ini menuju barisan tempat duduk para gadis yang mendadak sibuk sendiri. Ada yang pura-pura tak melihat, juga yang dengan cemas menghitung cepat di buku coretan.
"Soal satunya siapa? Sekarang yang perempuannya, ya."
"Zatin, Zatin," teriak Nora cepat.
"Zatin juga udah sering maju, yang belum pernah maju siapa?"
"Mika!" teriak Rendra dengan senyuman lebar penuh makna, Alvin di depan sana sempat berhenti menulis sejenak. Ia melirik sekilas pada pemuda itu yang langsung mendapat sorakan dari kawannya.
"Apaan, sih?" tanya Mika pada Rasya yang hanya menggendikkan bahu.
"Mika maju, ya?" pinta Bu Era.
Gadis itu mau tak mau setuju. Ia berjalan dengan canggung ke depan kelas, berhenti tepat di samping pemuda yang sudah beberapa hari ini memenuhi ruang chat-nya meski tak direspon. Tanpa diduga, Alvin dengan tanggap mengambilkan spidol yang ada di bagian ujung papan tulis. Bagi Mika, itu hal yang wajar karena memang tempat itu lebih dekat dengan Alvin. Tapi saat pemuda itu menyerahkan spidol padanya, Mika sadar bahwa pemuda itu tak membawa buku catatan seperti dirinya. Gadis itu sempat terkagum beberapa detik sebelum suara sorakan membuyarkan segalanya.
"Ya ampun itu diambilin sama Abang Alvin!" seru Ge dengan begitu hiperbolis.
"Mulai tercium aroma-aroma pasangan baru nih," tambah Rendra sebagai tim sukses utama.
"Bunga-bunga cinta bermekaran."
Alvin hanya tersipu dan mencoba menulis jawabannya meski dengan gugup, sedang Mika melirik tak suka pada para pemuda itu.
"Diam gak!"
"Udah jangan ribut," kata Bu Era menengahi.
Meski gadis itu mencoba bersikap biasa, Alvin malah menampakkan kegelisahannya. Pemuda itu beberapa kali menghapus angka yang ia tulis dengan tergesa hingga terlihat kurang jelas. Mika melihat sekilas bahwa temannya yang lain juga tengah tersenyum. Gadis itu mencoba tak peduli, ia terus mengerjakan soal di papan tulis itu.
"Duluan ya," kata Alvin pelan, saat pemuda itu selesai. Mika yang masih fokus menulis hanya mengangguk. Tak tahu bagaimana ekspresi Alvin saat mengatakan hal itu.