Di tengah hiruk pikuk orang yang berlalu lalang, seorang mahasiswi berjalan terseok-seok mencari tempat berteduh untuk menghindari terik matahari yang sejak tadi dengan bebas menjamah kulit tipisnya. Menimbulkan warna merah di bagian pipi seperti seorang gadis yang tengah merona malu karena dipuji.
Ia berhenti dan merenggangkan tubuhnya saat menemukan pohon rindang dengan sebuah kursi taman di bawahnya, gadis itu menghembuskan napas lega seraya melepaskan jaket almameter berwarna biru navy untuk mengurangi gerah.
Dosen yang seharusnya mengisi kelas tidak bisa datang hari ini, sehingga beberapa mahasiswa lain juga menikmati jam kosong sambil berkeliling di taman kampus. Ada juga yang kabur ke kafe depan gerbang universitas, untuk berkumpul dan bergosip ria mengenai dosen yang semaunya. Gadis itu mengeluarkan sebuah novel, membuka halaman terakhir yang ia baca, di dalamnya terdapat selembar foto usang sebagai pembatas buku. Foto yang memerangkap senyuman di wajah seorang pemuda dengan seragam putih abu-abu.
Hal yang kemudian malah membuat sang gadis jadi membatalkan niatnya untuk membaca novel. Ia mengigit bibit bawah, menahan lengkungan manis di wajahnya agar tak di sangka aneh oleh orang sekitar karena tersenyum sendirian. Benar kiranya, mesin waktu itu ada, meski bukan dalam arti yang sebenarnya. Seperti selembar kertas yang ia genggam sekarang, sesuatu yang mengajaknya kembali mengingat memori masa lalu. Momen-momen manis yang tak pernah berulang, tapi tetap bisa dikenang.
Semenjak bertemu dengan pemuda dalam foto itu, posisi membaca novel sebagai hobinya tergeser ke urutan nomor dua. Nomor satunya, tentu saja melihat wajah orang itu dalam ekspresi apapun. Perhatiannya teralihakan ketika ponsel dalam totebag-nya berbunyi, menandakan sebuah pesan masuk. Lantas mempengaruhi wajah gadis itu yang kemudian semakin terlihat cerah ketika mengetahui siapa yang mengiriminya pesan singkat.