Memorable Classroom

Nur Annisa
Chapter #2

1. Upacara Di Senin Pertama

Orang-orang bilang, masa yang paling menyenangkan adalah ketika kita berada pada fase remaja. Masa peralihan dari anak-anak menuju dewasa. Itu adalah saat kamu duduk di bangku sekolah menengah atas, di mana persahabatan dan cinta bermula. Hampir semua makhluk hidup di Indonesia tercinta ini semuanya pasti pernah melewati hari-hari di mana seragam putih abu-abu selalu melekat di badannya sepanjang hari.

Hal itu juga yang tengah dialami Mikayla Flanesha sekarang. Namun, bagi gadis yang baru saja menginjak usia enam belas tahun saat duduk di bangku kelas sebelas itu, masa ini benar-benar sangat klise. Satu tahun belakangan dianggapnya hanya sebuah perjalanan hidup yang monoton. Apa sih yang menarik dari putih abu-abu? Persahabatan yang katanya menyenangkan? Ayolah, Mika -begitu kerap kali orang menyapanya- sudah memiliki berjuta-juta sahabat sejak masih di taman kanak-kanak. Tak ada yang istimewa menurutnya.

Lalu, warna-warni cinta? Apakah SMA memang identik dengan perasaan yang kata orang berbunga-bunga? Meski belum pernah merasakan efek merah jambu itu, Mika tak terlalu peduli karena baginya SMA adalah sekolah, tempat untuk belajar, bukannya tempat mencari asmara. Serta alasan lainnya, sebuah fakta bahwa gadis itu tak bersekolah di SMA, melainkan Madrasah Aaliyah. Di mana cinta masa remaja merupakan sesuatu yang masih dianggap tabu.

Yang terjadi padanya hari ini juga benar-benar menggambarkan sebuah kisah klasik. Seperti dalam novel kebanyakan. Padahal andai saja bisa, Mika ingin mengubah awal ceritanya, tapi mau bagaimana lagi sebab ini yang benar-benar terjadi. Di mana sahabat karibnya, Rasya, berusaha mempercepat laju motornya meski dalam hati gadis itu merutuk karena takut akan terjatuh, hingga nantinya berakhir mencium aspal. Sedang Mika yang duduk diboncengannya juga diliputi rasa cemas sambil berulang kali melihat ke arah jam tangan yang menunjukkan pukul empat sore. Hijab berwarna krem yang dikenakannya berkibar ditiup angin, membuat gadis itu mau tak mau mengangkat tanganya untuk memegangi kain itu agar tak tersibak.

Ini hari minggu, dan kedua gadis itu sudah harus sampai ke sekolah sebelum jam lima karena gerbang asrama akan ditutup pada waktu itu. Kendati beberapa murid lain ada yang memilih untuk datang di hari Senin, tapi dengan alasan rumah keduanya yang cukup jauh dari sekolah, mereka memilih untuk datang di sore hari.

Mika menghembuskan napas lega ketika melihat sebuah gerbang dengan tulisan 'Madrasah Aaliyah Al-Aridhah' itu belum ditutup begitu pula dengan gerbang asrama putri di seberangnya. Sekolah itu mengharuskan para siswa dan siswi menginap di asrama, meski berbasis Madrasah Aliyah.

Rasya melepas helm yang ia kenakan setelah memarkirkan motor. Kedua gadis itu berjalan beriringan menyusuri jalan menuju asrama baru mereka. Ini tahun kedua bagi Rasya dan Mika, tahun ini katanya pembagian asrama akan diubah. Menurut cerita Kak Santi -kakak kelas mereka- sebuah asrama akan diisi oleh delapan belas sampai dua puluh orang dengan format, beberapa murid baru, seluruh gadis dari kelas sebelas, dan dua orang kakak kelas dua belas yang akan bertindak sebagai pemimpin.

Untuk alasan kenapa kelas sebelas digabung, Ka Santi bilang untuk membuat mereka akrab seperti keluarga, sedang anak baru itu agar mereka bisa saling mengakrabkan diri dengan kakak kelas. Karena sekolah ini punya prinsip menghapuskan senioritas. Jadi, kalau semuanya berteman, maka intensitas bully bisa lebih ditekan.

Rasya sibuk mencari deretan namanya dan nama Mika di kertas pengumuman pembagian asrama hingga ia hampir saja berteriak karena menemukan nama mereka ditempatkan di asrama yang sama.

"Bagus deh," komentar Mika dengan bibir mengembang dan mata berbinar. "Sama siapa aja?"

"Ada Jihan, Nia, sama Bina juga,” jawab Rasya menyebutkan nama dua orang gadis yang dulu sekelas dengan mereka saat kelas sepuluh.

Segera setelah pintu asrama terbuka, alunan genderang dan tiupan terompet sangkakala langsung memekakan telinga Mika. Sebenarnya asrama ini hanya dihuni sembilan belas orang yang bahkan masih belum datang dengan lengkap. Tapi ributnya sudah seperti ada sirkus keliling yang lagi demo karena harga bahan pokok naik. Biasalah, jika para gadis yang baru saja datang setelah liburan semester yang menyenangkan dikumpulkan dalam satu wadah, ada-ada saja pengalaman liburan yang menjadi topik untuk diperbincangkan.

"Oleh-oleh!" rengek Nia yang rupanya telah lebih dulu sampai ketika melihat Rasya dan Mika.

"Gak bawa apa-apa," jawab Rasya sambil meringis.

Gadis itu memasang wajah cemberut, sejurus kemudian ia berpaling. Kembali menekuri layar gawainya. Menonton drama korea terbaru dengan Jihan disampingnya yang lebih asik mengemili makanan dalam tas selempang milik Nia, dari pada menanggapi jeritan gadis itu saat drama yang ia tonton menunjukan adegan romantis.

Rasya berjalan menghampiri ranjang dua tingkat yang atasnya telah diisi Mika, gadis itu merogoh ponsel di tas kecilnya dan membuka game, untuk memberi makan sapi-sapi virtual peliharaannya. Mendengar ada bunyi musik yang ia kenali sebagai game kesukaan gadis dengan rambut lurus itu, Mika menengokkan kepalanya ke ranjang yang ada di bawah.

"Kenapa?" tanya Rasya bingung melihat ekspresi imut Mika yang dibuat-buat. "Mukamu udah kaya Shincan, aja."

"Apaan, sih!" mulut Mika mencebik ke bawah lalu kembali mengukir senyum saat mengingat kembali misinya mendekati gadis itu. "Malam ini nyalakan syair hujan, ya," pintanya.

"Buat apa?"

"Besok, kan, Senin. Males upacara."

"Oh iya, untung diingetin," sahut Rasya setuju.

Mika mengangguk senang dan beranjak merapikan isi tasnya. Seperti kebanyakan pelajar dari sabang sampai merauke, ia juga masuk dalam jajaran siswa yang tidak menyukai hari Senin. Alasannya sederhana, sebab ada upacara di dalamnya.

Katanya, upacara itu untuk mengahargai dan mengenang jasa-jasa pahlawan yang telah gugur mendahului kita. Iya, Mika kagum atas kegigihan para pejuang tempo dulu yang menggemakan takbir, dan bersemboyan merdeka atau mati.

Lihat selengkapnya