Mika meniup-niup ujung kerudungnya. Kain tipis berwarna putih itu melayang sebentar sebelum akhirnya terjatuh lagi mengenai dahi kecilnya. Gadis itu mendengus, ia tak mengerti mengapa kerudung itu tak kunjung rapi meski sudah satu jam lebih ia mematut diri di depan cermin.
"Aku gak mau sekolah," gerutu Mika seraya merebahkan tubuhnya di lantai begitu saja.
Di samping gadis itu, Bina yang bernasib sama juga mengikuti langkahnya. Ikut berbaring menatapi langit-langit asrama yang dihiasi stiker bintang kecil-kecil.
"Ribet ya, padahal sudah setahun lebih kita pake kerudung gini, tapi tetap aja gak pernah bisa jadi ahli," kata Bina dengan bibir mencebik kesal. Dilepasnya peniti yang tadi terpasang di bawah dagu, membuat kerudung itu terlepas jatuh tertindih kepalanya sendiri.
"Andai aja kita kaya cowok, gak usah ribet sama urusan kerudung begini."
"Bener, tinggal cuci muka, sisiran dikit, beres deh."
Mika dan Bina saling berpandangan. Sejurus kemudian menghela napas berbarengan. Kedua gadis itu jadi merasa senasib sepenanggungan sejak kerudung keduanya sulit diajak berkompromi. Selalu saja ada yang terasa salah, kerudung Mika yang rasanya miring sebelah, kerudung Bina yang penitinya hilang dan banyak lagi masalah tentang kerudung yang lain. Hingga membuat keduanya jadi akrab karena kerap kali terlambat bersama masuk kelas.
"Balas aja, Za! kan kasian Wira," ucap Zatin terdengar sedikit memaksa.
Mika menengok kala nama sahabat karibnya itu disebut, gadis itu bangkit dan kembali menghadap cermin. Dari pantulan kaca lemari, dia bisa melihat Zara yang sedang mengambil catatan di rak buku miliknya, tengah diapit oleh Zatin juga Nila.
"Iya, apa salahnya sih? Emang kamu mau dibilang sombong?" kali ini Nila ikut menambahkan.
"Iya sih kak, tapi yang waktu itu kan udah, masa yang ini aku balas lagi?" Zara meragu, gadis itu menggaruk kepalanya merasa bingung. Sikunya berada tepat di depan kak Nila, ketua asrama itu mundur beberapa langkah agar tak terkena. Zara memang memiliki perawakan yang lumayan tinggi, dengan garis wajah dewasa ditambah suaranya yang serak-serak basah mungkin orang-orang akan sulit percaya bahwa gadis itu baru saja duduk di kelas sepuluh beberapa pekan yang lalu.
"Kalau dua kali memangnya kenapa? Aku jamin deh Wira itu anak baik."
"Iya deh, aku balas, tapi ini terakhir," sahut gadis itu akhirnya menyerah dan langsung mendapat sorak sorai dari kedua kakak kelasnya.
Zatin dan Nila langsung bertos ria. Zara mulai mengambil bolpoin beserta kertas dari dalam lemarinya. Sebelum akhirnya ketiganya pergi beriringan keluar asrama.
Mika memutar bola matanya. Heran kenapa Zatin tampak begitu mendukung Wira untuk mendekati Zara. Padahal setahu Mika, Wira dan Zatin baru kali ini satu kelas, hingga tak ada alasan bagi keduanya untuk bisa disebut akrab. Sebenarnya, hal bagus juga kalau sahabatnya itu merasa terbantu atas apa yang dilakukan Zatin. Hanya saja yang membuat Mika khawatir adalah paksaan yang mereka lancarkan pada Zara. Mika hanya tak ingin kalau gadis itu merasa tertekan. Terlebih juga ini tak akan memberi efek baik bagi Wira. Takutnya nanti ketika Wira tau bahwa sebenarnya Zara hanya terpaksa membalas suratnya, pemuda itu akan lebih dalam kecewanya.
"Eh, udah jam tujuh Mika," kata Bina dengan panik mulai kembali memasang kerudungnya.
"Serius? Pelajaran pak Mahbub yang pertama nih," kata Mika ikut-ikutan bergerak cepat, kembali meniup-niup ujung kerudungnya. "Ayo cepetan!" seru Mika yang sudah lebih dulu selesai pada Bina.
Keduanya berjalan tergesa-gesa menuju kelas yang sudah mulai sepi karena lonceng telah dibunyikan lima menit lalu. Benar saja ketika sampai di depan pintu kelas, proses belajar mengajar telah dimulai dengan Pak Mahbub, guru ilmu hadits mereka yang sudah menerima setoran hadis di depan kelas. Kali ini Rasya yang sedang menyetor hafalannya.
"Kalian lagi, kalian lagi," ujar Pak Mahbub saat melihat Bina dan Mika yang tertawa-tawa kecil karena tertangkap basah terlambat masuk.