Memorable Classroom

Nur Annisa
Chapter #11

10. Tragedi Bola Voli

Esoknya, kelas sebelas agama gempar. Ge mencak-mencak saat tak mendapati catur yang kemarin dengan jelas ia ingat berada di belakang kelas, tepat di atas kursi rusak yang tak terpakai. Sudah sejak pagi para pemuda itu bergantian mencari, namun tetap tak menemui hasil. Saling menanyakan satu sama lain tentang siapa yang melihat benda itu terakhir kali.

Tanpa mereka tahu, para gadis malah cekikikan puas. Beberapa dari mereka malah bertepuk tangan ria dengan pelan di bawah meja, Mika dan yang lainnya saling melirik bangga. Keadaan tak parah. Sampai pada akhirnya saat jam istirahat, Rendra, Aldo, dan Ge menghampiri meja Zatin dengan geram.

"Udah deh, kalian tuh ngaku aja! Kalian sembunyiin di mana catur kami?" tanya Aldo memulai.

"Bukan kami, kok kalian jadi langsung nuduh gini," sahut Zatin membela diri.

"Kami punya saksi!" balas Rendra tak mau kalah. Matanya beralih ke sudut kelas di samping kiri. Lantas menunjuk ke arah seorang pemuda di sana. "Hakim, coba kamu bilang, cewek-cewek itu, kan, yang buang caturnya?"

Perkataan itu membuat para gadis jadi saling berpandangan karena nama Hakim disebut sebagai saksi. Mereka kira hari itu Hakim sedang tertidur. Meski sempat terbangun sebentar, mereka yakin bahwa kemarin pemuda itu tak menyaksikan secara langsung bahwa mereka adalah pelakunya. Lagi pula, selama ini pemuda itu tidak terlihat seperti seorang pengadu.

"Iya, kayanya sih gitu," katanya ragu. Agak takut melihat Zatin yang melotot.

Para gadis diam-diam jadi menghela napas lega. "Hakimnya juga gak yakin tuh," balas Zatin tenang.

Tama yang sejak tadi mendengarkan di kursinya masih saja memasang wajah tak terima dengan pembelaan itu. "Halah! Jangan ngeles, ngaku aja."

"Iya ngaku aja, Jihan nih, Jihan kayanya ini pelakunya" tuduh Ge lagi.

"Loh kok aku?" Jihan tak terima namanya tiba-tiba disebut, karena tadi para pemuda itu hanya menyerang Zatin yang paling dicurigai sebagai tersangka utama.

"Jangan nuduh gitu, itu karma kali karena kalian yang jail sama kami," balas Nora tanpa takut.

Para pemuda itu berpandangan kemudian melihat ke arah Wira penuh arti. Wira gelagapan takut dikira sebagai tersangka, tapi segera paham sejurus kemudian. Ia sontak menengok ke arah Mika. Berharap gadis itu mau membeberkan kebenaran jika dibujuk oleh sahabatnya sendiri. 

"Mikayla ...." panggilnya pelan.

"Aku gak tau," kata Mika datar, membuat para cowok berdecak kesal bersamaan.

Rendra tak kehabisan akal, dengan nada yang lebih bersahabat, ia berucap bijak. "Gini deh, mending kalian balikin dan kita lupain masalah ini, kami janji gak jail lagi."

"Gimana mau balikin kalau kami juga gak tau," balas Zatin masih bersikeras.

"Aduh, kalian tau gak sih, itu catur punyanya Joe!" 

"Joe?!" Seru para gadis itu bersamaan. Mereka saling berpandangan, seakan bisa bertelepati ingin mengatakan hal yang sejujurnya atau tetap berpura-pura tak tahu saja. 

"Kita gak tau," ucap Jihan pada akhirnya, sebab menurutnya mereka mengaku pun tak akan merubah keadaan. Catur itu tetap akan hilang.

Zatin jadi merunduk, ikut diam juga. Gadis itu sedikit merasa bersalah karena sudah membuang catur milik pemuda yang biasa Ia panggil pangeran itu. Para pemuda yang sudah merasa lelah mengintrogasi akhirnya ikut sunyi, kembali duduk di kursinya masing-masing karena Pak Dendi sudah mulai terlihat berjalan menuju kelas.

"Tumben sepi," komentar Pak Dendi melihat wajah para siswa tampak sendu, terlebih saat Joe ikut masuk, semua pemuda itu jadi merunduk merasa bersalah karena menghilangkan caturnya.

"Itu Pak, Jihan ngambil catur kami," kata Tama lebih dulu, membuat Joe ikut menengok karena tak tahu menahu kalau caturnya hilang. 

"Emang kamu punya bukti?" Jihan menantang tal terima.

Lihat selengkapnya