Mika melirik penuh curiga ke arah Jihan. Akhir-akhir ini, dia lebih banyak menghabiskan waktu dengan memegang gawainya. Kalau dulu gadis itu hanya menggunakan hp untuk mendengarkan musik, kali ini dia terlihat sibuk mengetikkan sesuatu di sana. Rasa kepo Mika tak terelakkan lagi, ia mendekat perlahan ke samping Jihan. Berusaha untuk mengintip tanpa suara. Namun, sebuah teriakan malah terdengar kala gadis itu mendapati nama Reindra di kotak pesan.
"Kamu chatting-an sama Reindra?"
Jihan menatap Mika dengan mata membulat, segera menutup mulut gadis itu. "Hati-hati kalo ngomong, nanti ada yang salah paham," katanya sembari mengedarkan pandangannya ke segala penjuru kelas yang untungnya masih sepi.
"Buat apa?" tanya Mika berbisik.
"Gak apa, biasa aja."
"Lah?"
"Udah deh diam aja!"
Mika ingin bertanya lebih, namun ekspresi Jihan yang sedang tidak bersahabat membuatnya mengurungkan niat. Segala prasangka berputar dalam pikiran Mika. Jihan rupanya gadis yang misterius. Padahal baru kemarin Mika tahu bahwa dia punya rasa pada Kak Adan, tapi hari ini Jihan malah kedapatan berbalas pesan dengan Reindra.
Helaan napas keluar dari mulut gadis itu. Ia lantas berpaling, mengubah arah pandangan dan berhenti melihat Tama yang duduk tak jauh darinya. Pemuda itu menepuk pundak Wira, seakan menyalurkan rasa simpati pada pemuda yang tengah berwajah sendu itu. Mika disampingnya juga menghela napas, ikut prihatin.
Pagi tadi, Wira memberanikan diri ke kelas sang pujaan hati untuk mengantar sendiri suratnya, namun bukannya mendapatkan senyuman sang degem yang bernama Zarana itu, suratnya malah tidak diterima. Seakan ditolak sebelum bertindak. Padahal Wira sudah sangat optimis bahwa Zara memiliki perasaan yang sama sepertinya.
"Gak apa Wir, cewek mah masih banyak," hibur Tama.
"Tapi yang ada di hatiku cuma Zara."
"Tapi kamu gak ada di hati Zara," jawab Tama, menusuk tepat. Wira di sampingnya jadi mendelik dan Tama malah tertawa.
"Apaan sih Tam, Wira lagi sedih juga," sahut Mika ikut-ikutan.
Tama menengok ke arah gadis itu yang tadi keberadaannya terhalang oleh tubuh Wira.
"Itu kenyataan Mika."
"Ya tapi jangan nusuk gitu juga kata-katanya."
"Udah-udah kok jadi kalian yang berantem sih?" lerai Wira.
"Itu tuh si phitecantropus erectus!"
"Lo tuh si rafflesia arnoldi," kata Tama tak mau kalah.
Mika dan Tama masih saja adu mulut dengan Wira yang berada di antara keduanya hanya bisa menutup telinga. Wira kadang bingung sendiri. Tama adalah teman sebangkunya, paling akrab dengannya diantara laki-laki lain. Sedangkan Mika juga sahabatnya. Tapi, kedua orang itu malah tak pernah akur.
Sementara itu, Ge datang sembari bersenandung ria sebelum akhirnya berlarian kecil ketika melihat Bu Arba yang sudah mulai terlihat keluar dari kantor.
"Eh, eh, mau kacang gak?" tawar pemuda itu pada para gadis yang duduk dekat pintu.
"Mana? mana?" tanya Zatin yang sudah lebih dulu tertarik.