Minggu, 13 Maret 2022
Tersengal. Napas Clara menggebu tak beraturan. Dia terduduk tiba-tiba dengan bermandikan keringat di sekujur badannya. Kaos kelabunya basah sekali, terasa agak berat. Ketika embusan napasnya sudah mulai teratur, barulah dia sadar akan mentari yang sudah mulai merangkak naik. Pukul enam lebih empat menit sekarang. Satu gelas penuh air putih seakan tak mampu melenyapkan rasa haus gadis itu.
Pusing kepalanya, terasa seperti bergoyang. Apa yang dialaminya malam tadi masih tak dapat dia percayai kebenarannya. Dia juga terheran akan dirinya yang sekonyong-konyong bisa ada di tempat tidurnya sendiri.
Gadis itu duduk merenung setelah meletakkan gelas kosong pada meja bundar kecil di depannya. Kesemua jemarinya meremas kening yang masih tersisa sedikit keringat, sementara kedua sikunya bertumpu pada meja.
Di tengah pedau dan beratnya kedua mata, Clara mengkaji lagi apa yang bisa dia ingat. Dari saat dia meninggalkan tempat kerjanya, sampai ketika sekelabat berpijak di ruang asing remang itu.
Lalu perutnya terasa seperti diremas saat teringat lagi akan yang dia saksikan setelah itu. Dia ingin mengeluarkan isi perutnya yang kosong, tetapi dua kakinya terlalu lemas untuk beranjak dari duduk. Beruntung bagi si gadis karena perutnya bisa berkompromi, setidaknya untuk saat ini.
Ketika mentari mulai turun, itulah waktunya bagi Clara mengemban tugas melayani pembeli yang bermacam-macam keanehannya. Hal yang tak pernah dia rasakan saat dulu menjaga kasir di pagi atau sore hari. Akan tetapi, saat ini, gadis itu seperti tak mempedulikan kenyataan mengesalkan itu. Dia banyak sekali melamun malam ini, bahkan senyumnya tak bisa lagi dikatakan senyuman.
Mini market tempatnya kerja masihlah ramai pelanggan, masih ada juga kelakuan-kelakuan menjengkelkan yang seperti biasa itu. Perbedaannya sekarang ialah Clara yang seperti acuh tak acuh menanggapinya. Yang ada di pikiran si gadis—dari saat dia memulai sifnya sampai di penghujung waktu pulang—hanyalah soal rumah muram dan satu keluarga malang itu.
Jantungnya terasa seperti terjun bebas ketika waktu pulang akhirnya tiba. Dia was-was akan adanya lagi kejadian aneh seperti semalam. Bahkan satu sentuhan kecil di sikunya berhasil membuat tubuhnya agak termundur kaget. Terdengar tawa kecil setelah dia begitu.
“Ada apa, Clara? Dari tadi saya lihat kamu melamun terus.” Suara itu asalnya dari lelaki berusia akhir lima puluhan, berpostur pendek gempal dengan otot-otot besarnya yang sudah mulai mengendur.
Mata cokelat lelaki itu menatap sayu dan tampak lelah. Alis hitam tebalnya mulai dihiasi warna keperakan, begitu pula dengan rambutnya yang pendek dan disisir rapi ke samping kiri. Dia berjalan pelan, menuju Clara dari depan meja kasir.