Memori Berdarah

Adnan Fadhil
Chapter #3

TIGA

Tak sampai satu detik setelah Clara berucap, tampak bergelinding satu kaleng soda dari tempat suara tadi berasal. Gadis itu menahan napasnya.

Bunyi berkerisik mengagetkan Clara. Asalnya dari plastik di tempat sampah kecil yang tak jauh dari tangga. Namun tak terlihat siapa-siapa di sana. Clara gelagapan. Setelah mengembus kuat napasnya, buru-buru dia melompati dua anak tangga sekaligus, naik ke lantai atas.

Tanpa mau menoleh ke belakang, gadis itu berlari kecil hingga sampailah dia di depan pintu kamarnya. Dengan napas penuh sesak dia merogoh bagian dalam ranselnya, mencari kunci kamar. Sampai dua kali dia melirik lagi ke arah tangga, hingga akhirnya ditemukan juga kunci itu di balik buku catatan kecilnya—sudah jadi kebiasaan Clara sejak sekolah yang selalu membawa buku catatan kecil setiap saat, terlepas dari tak bergunanya buku itu di sebagian besar waktunya.

Kunci itu digenggam Clara erat, namun tangannya yang bergetar tak dapat dia sembunyikan. Bunyi klik saat kunci itu diputar bahkan sempat membuatnya kaget. Dengan cepat dia membuka pintu kamarnya, lalu dengan sigap juga dia bergerak masuk. Namun, kedua matanya terbelalak detik itu juga. Yang dia lihat sekarang bukanlah kamarnya. Itu ruang temaram tempatnya semalam berada!

Pintu terbanting menutup. Panik menyerbu si gadis. Dengan gerakan cepat dan gelagapan dia berusaha membuka pintu yang sudah tampak berbeda itu. Namun tak terbuka. Dia lalu menggedornya beberapa kali dengan keras. 

“Siapa pun, tolong! Buka pintunya!” Clara berteriak, tetapi tetap saja itu usaha yang hanya sia-sia.

Dia masih menggedor sambil menekan berkali-kali knop pintu itu saat tiba-tiba ada yang menarik kecil ujung bajunya. Gadis itu bergeming seketika. Dengan napas yang tertahan dia menoleh perlahan, lalu dia termundur hingga punggungnya menyentuh pintu. Kedua mata Clara terbelalak lagi saat tahu siapa yang menarik bajunya. Itu adalah gadis kecil yang dia lihat sebelumnya.

Wajah gadis kecil itu pucat, terlalu putih sampai bibirnya pun begitu. Masih tampak bekas sayatan di lehernya, tapi tak lagi megeluarkan darah. Ekspresinya tak ada. Tatapan matanya yang mengarah pada Clara itu kosong. Sesaat setelah tahu kalau Clara melihatnya, dia mengabahkan tangan sambil satu jarinya menunjuk ke sebuah pintu yang tertutup. Clara memandang arah tunjukan itu. Lalu si gadis kecil lenyap.

Setelah menelan ludah, Clara berjalan ragu-ragu. Dilewatinya belakang sofa yang kini tampak kosong. Lalu dia sedikit melirik televisi yang tetap menyala tanpa menampilkan acara apa pun, sebelum tak sengaja melirik kalender yang bergelantung di dinding sebelah meja televisi. Tampak di kalender itu tulisan: Maret 2012.

Pandangan Clara kembali lagi ke arah pintu tujuannya. Di situ si gadis kecil tampak lagi, tapi tak lama. Dia kembali hilang setelah tubuhnya menyentuh pintu itu, seakan masuk menembusnya.

Sampailah Clara di depan pintu dengan kedua lutut lemasnya yang kian gemetar hebat. Tangan kirinya bergerak pelan untuk memegang gagang pintu itu. Dingin menjalar ke sekujur badan si gadis. Gagangnya ditekan. Perlahan, sambil memejamkan mata, dia mendorong pintunya. Tepat saat pintu itu terbuka seluruhnya, dia membuka mata, lalu terenyuh dengan apa yang ada dia lihat.

Di lantai tak jauh dari ranjang, gadis kecil itu terduduk lemas di samping tubuh terbaring ibunya yang tampak melebihi lemasnya dia. Kedua tangannya menggenggam erat sebelah tangan perempuan paruh baya itu. Clara sedikit mendekat, lalu tampaklah air mata yang mengalir deras di pipi si gadis kecil. 

Lihat selengkapnya