Clara terjaga bermandikan air mata di kedua pipinya. Dia menutup kedua matanya dengan lengan sambil bersedu sedan, tanpa sadar kalau mentari sudah cukup jauh melewati titik tertingginya.
Ada sekitar lima menit lamanya gadis itu tak beranjak dari ranjang. Perasaan takut, sedih, gusar, semua bercampur aduk di dalam hatinya. Tak pernah dia membayangkan akan ada manusia yang sebejat itu. Manusia yang tak menganggap nyawa manusia lainnya berharga.
Gadis itu bangkit, lesu badannya, tetapi perasaannya yang campur aduk itu menimbulkan rasa penasaran. Keingintahuan akan semua yang diperlihatkan padanya itu lebih besar dari segala perasaan yang berkecamuk sekarang.
Karena itu, Clara mengambil buku kecilnya untuk mulai merangkum fenomena aneh yang dia alami; memori berdarah dari satu keluarga yang tak pernah dia kenal. Dia duduk di belakang meja tulis kamarnya dan mulai mencatat.
Setelah selesai dengan rangkumannya, dia memejamkan mata, lalu mengingat hal-hal penting yang dia lihat di ruang tengah rumah asing itu. Hal pertama yang dia ingat adalah tulisan di kalender sebelah meja televisi yang tak sengaja diliriknya saat “kunjungan paksa” kedua.
Maret 2012? Berarti sepuluh tahun yang lalu. Dia mencatatnya.
Suasana remang di ruangan saat itu menandakan kalau kejadiannya di malam hari. Dan kalau dilihat dari jam saat dirinya tiba-tiba ada di sana, dia cukup yakin, waktunya di sekitar lewat tengah malam. Dia mencatat lagi.
Setelah itu dia memeras otaknya lebih keras untuk mengingat lagi. Dia perlu sebuah tanda—apa saja—yang bisa membuatnya tahu lokasi rumah itu.
Nihil.
Clara melempar begitu saja pulpennya di atas buku kecil. Kepalanya berdenyut, dia pun mengurut kecil sekitaran kening dengan dua jarinya. Meski tahu tahun kejadian, tetap saja dia tak menemukan petunjuk tentang lokasi rumah menyedihkan itu.