Memori Berdarah

Adnan Fadhil
Chapter #7

TUJUH

Clara gelagapan saat melihat si pemanggil: perempuan berkisar usia pertengahan 20-an, berambut hitam mengilap yang dipotong sebahu, tatapan mata yang memancarkan ambisi, dan bibir tipis yang terlihat ketus. Entah kenapa Clara dapat merasakan karisma dan keanggunan yang tak dimengerti terpancar dari sosoknya.

Sedetik setelahnya, Clara memperhatikan setelan perempuan yang masih berdiri di ambang pintu itu. Dia tampak santai dengan kaos hitam dan jins ketat. Namun kesan santai itu lebih kepada tomboi menurut Clara. Itu karena bot hitam kulit yang saat ini dipakainya.

“Anu, itu ….” Buru-buru Clara berkata tatkala si perempuan mendekat. Namun dia tak menemukan alasan yang tepat.

Mata perempuan tomboi itu mengarah pada satu tangan Clara. “Kertas apa itu yang kau pegang?”

Clara yang panik dengan refleks menyembunyikan tangan yang memegang kertas di belakang badan sambil perlahan menjauh. Semakin dekat perempuan itu padanya, semakin menjauh pula dia. Hingga berujung dengan pinggangnya menyentuh meja kerja, tak bisa lagi bergerak mundur.

Air muka Clara pun tampak semakin panik saat melihat lawan bicaranya yang mengadahkan tangan itu sudah dekat sekali dengannya.

“Berikan kertasnya!” perintah si perempuan yang, mau tak mau, dituruti juga oleh Clara.

Perempuan tomboi itu menggumam kalimat yang tak dapat Clara dengar, lalu bibirnya tersenyum tipis. Dia berkata, “Kenapa takut, sih? Santai aja.” Kertas itu pun dilepaskannya begitu saja.

“Kakak … siapa, ya?” Clara yang bertanya.

“Harusnya aku yang tanya begitu.” Si perempuan membalas cepat. Lalu saat melihat Clara yang tampak merasa bersalah, dia tertawa kecil. “Nggak, nggak, cuma bercanda kok.” Dia mengulurkan tangannya. “Aku Vio. Kau?”

Agak ragu Clara menyambut tangan itu. “Clara.”

“Jadi, sedang apa di sini?” Belum sempat pertanyaan itu dijawab, Vio melanjutkan, “Aku nggak sengaja melihatmu lewat tadi.” Dia berjalan mengitari meja kerja untuk duduk di kursi. Lalu setelah agak memundurkan kursinya, kedua kakinya berselonjor dengan bertumpu pada ujung meja.

“Terus,” lanjutnya, “karena penasaran—soalnya jarang ada orang yang masuk ke daerah sini—aku mengikutimu. Dan di sinilah kita sekarang.” Vio memandang berkeliling saat mengucap kalimat terakhir. 

Clara diam cukup lama. Dia menimbang-nimbang antara harus jujur atau berbohong kepada perempuan tomboi yang baru ditemuinya ini. Dua kali dia sedikit melirik Vio yang wajahnya seperti tak sabar menunggu jawaban itu.

Akhirnya, karena merasa tertekan—entah apa sebabnya—Clara memutuskan untuk menceritakan semua yang dia alami apa adanya, tanpa satu pun kebohongan.

Tidak tampak oleh Clara ketidakpercayaan pada wajah Vio yang dengan mantap berhasil disembunyikan. Meski begitu, tetap saja Vio mendengar dengan saksama penjelasan yang berkesan tak masuk akal itu.

“Oke. Jadi alasanmu ke rumah ini karena dituntun yang punya?” Vio memastikan.

Lihat selengkapnya