Ruang rapat Satuan Reskrim Polresta Tanjungpinang itu masih menimbulkan hawa pengap yang tegang. Briefing lanjutan tentang kasus pagi ini sudah hampir sepuluh menit berlalu—tepatnya jam 19.47 silam. Namun, masih ada satu reserse berwajah kusut yang duduk tercenung di sana.
Iptu Rio Ferdian mengurut pangkal hidung beberapa kali sebelum mendesah berat. Garis di bawah kedua matanya pertanda kalau dia kurang istirahat. Rentetan kasus yang terjadi dalam waktu dekat seperti tak membiarkannya mengambil napas.
Baru saja kemarin malam unitnya berhasil meringkus tersangka pembobol toko emas yang buron selama hampir seminggu. Lalu, bagaikan dihantam palu godam yang besar, sebuah kasus perampokan dengan pembunuhan datang dan menggerayapi pikirannya.
Kasus pembunuhan. Rio menyandarkan tubuh lelahnya pada kursi, menatap langit-langit. Betapa jarangnya terjadi kasus berat seperti itu di kota kecil ini. Apalagi yang tampak serius dan bagai mengandung rahasia dalam.
Dia sependapat dengan Kasatreskrim-nya. Kasus itu bukan sekadar perampokan biasa, yang si pelaku membunuh korban karena terpaksa. Rio yakin, pasti ada alasan lain yang membuat dia melakukan tindakan keji itu. Dia mengkaji kembali hasil analisis sementara dari briefing unitnya tadi, yang sudah dia rangkum di buku catatan kecil.
Berdasarkan satu-satunya CCTV di TKP, si pelaku sangat tak terlihat jelas. Dari siluetnya, dia adalah lelaki berperawakan pendek gempal, berpakaian serba gelap dengan topi. Perawakan yang bahkan tak terlihat bagian depannya dari CCTV.
Gerak-gerik pelaku tampak terencana. Dilihat dari ketiga tubuh korban yang meregang nyawa di tiga tempat berbeda, itu seperti pelaku sengaja mendatangi satu per satu dari mereka untuk membunuhnya. Kemudian, seperti ingin memberi modus operandi palsu, dia sengaja mengambil beberapa barang berharga milik korban.
Namun, di balik segala pemikiran itu, Rio tetap perlu bukti yang kuat untuk mendukung asumsinya. Pandangannya beralih ke fail lain di tangannya.
Menurut keterangan pelapor—ART korban—yang pelaku ambil bukan hanya sekadar barang berharga. Selain dua kotak penyimpanan perhiasan, dia juga mengambil tiga ponsel dan satu laptop. Tindakan yang berguna untuk mengaburkan jejak, menurut Rio.
Dari semua itu, yang menjadi tanda tanya paling besar adalah fakta bahwa si pelaku hanya terlihat di CCTV saat keluar dari rumah korban, sementara akses masuknya belum diketahui. Asumsi sementara, pelaku masuk lewat jendela. Namun, sampai kini, hal itu belum bisa dibuktikan karena semua jendela rumah itu terkunci rapat dari dalam.
Jejak yang tertinggal di TKP pun minim. Tidak ada tanda-tanda kerusakan di semua pintu dan jendela rumah. Tidak ditemukan pula jejak kaki pelaku di sekitar TKP—baik di teras, halaman rumah, hingga gang tanah di sisi kiri rumah, di luar pagar—begitu pun dengan jejak roda ban mobil atau motor.
Masuk dari mana dia? Rio mengernyit. Pelaku jelas merencanakan aksinya matang-matang. Sistematis dan penuh perhitungan. Dia paling benci kasus yang seperti ini.
Ponsel yang bergetar menghentikan pemirikannya. Ada panggilan masuk. Dia melirik tulisan di layar sekilas: Violeta Sabrina, sebelum mengusap layar itu untuk menjawabnya.
“Halo. Kenapa, Vi?”
“Rio, kau harus ke sini sekarang! Ini penting.” Suara Vio dari balik sana terdengar serak dan tergesa-gesa.
“Tenang dulu, Vi, tenang. Ada apa di sana? Dan di mana sana itu?”
Terdengar helaan napas berat. “Sebentar.”