Pandangan Kompol Sudirman memang mengarah pada televisi di depannya. Namun, tidak ada sedikit pun suara dari televisi itu yang masuk lewat kedua telinganya. Pikiran Kasatreskrim itu sedang melayang jauh, menelusuri rekam jejak kasus terbaru yang dia tangani.
Kasus perampokan dengan pembunuhan. Bukan, dia meralatnya. Lebih tepat kalau disebut kasus pembunuhan berencana dengan perampokan. Dia mengingat lagi saat pagi tadi menelusuri tempat kejadian perkara.
Sekitar satu jam setelah menerima laporan, dia tiba di sana; rumah minimalis dua tingkat dan bercat krim di Jalan Sri Katon. Satu mobil polisi, mobil reskrim, dan mobil dinas tim Inafis memadati sekitarannya. Ada juga satu ambulans yang diparkir paling dekat dengan TKP.
Setelah melewati kerumunan warga-warga berwajah penasaran dan beberapa jurnalis, dia melihat Iptu Rio Ferdian yang menyambutnya di depan pintu pagar—setinggi dua meter—yang terbuka dan bergaris polisi itu.
“Bagaimana kondisi di dalam?” ucapnya.
“Cukup buruk, Ndan.” Rio menjawab sambil memberikan sepasang sarung tangan latex dan pelindung sepatu plastik padanya.
Sambil Sudirman memakai sarung tangan, mereka berjalan beriringan. Dua polisi berseragam yang berjaga di pintu pagar mempersilakan mereka masuk.
Halaman rumah itu bisa dibilang cukup luas dan terbagi menjadi dua bagian. Bagian pertama, di depan pintu gerbang, merupakan halaman ber-paving block—tempat Brio merah terparkir.
Halaman itu juga sejajar dengan teras depan. Luasnya hanya cukup untuk memarkir satu mobil, tapi masih menyisakan ruang untuk orang berlalu-lalang tanpa khawatir menyenggol bodi mobil.
Kemudian, di sebelahnya, merupakan sebuah taman berumput halus dengan beberapa pohon kecil dan tanaman hias berbunga yang mengelilinginya. Bagian tengah taman itu dibiarkan kosong tanpa pohon maupun tanaman.
Di bagian terkanan rumah—setelah melewati taman berumput—terdapat jalan kecil berkeramik. Jalan itu diperkirakan Sudirman menuju ke pintu samping atau langsung menuju ke halaman belakang.
Setibanya di teras rumah, Sudirman berhenti sejenak, memakai pelindung sepatu. Hal yang sama juga dilakukan Rio. Kemudian, sang Kasatreskrim memandang CCTV di ujung kiri-atas dinding tempat pintu masuk utama berada. CCTV yang mengarah tepat ke tengah teras.
“Seberapa buruk?” Sudirman memastikan.
“Nyaris tanpa jejak.” Rio memandunya menuju pintu utama.
Kompol Sudirman berhenti tepat di depan pintu masuk utama. Rio yang sadar juga ikut bergeming, memandang Kasatreskrim-nya. Sudirman memperhatikan CCTV di sudut-atas dinding cukup lama.
“Wajah kita pasti terlihat jelas lewat CCTV itu,” ucapnya tanpa menoleh.
“Benar, Ndan,” jawab Rio, “mari kita masuk.”
Mereka melewati pintu, lalu disambut dengan ruang tamu berdesain minimalis yang terlihat normal. Dari situ, terlihat jelas belakang sofa dan bagian depan televisi lewat penghubung ruangan tanpa pintu di sisi kiri.
“Pintu tadi tampaknya baik-baik saja.” Sudirman penasaran. “Apa dia masuk lewat jalan lain?”
Rio mengiakan. “Dan jalan itu sampai sekarang belum bisa kami pastikan.”