Di belakang Iptu Rio Ferdian yang sedang menelepon sang Kasatreskrim, kedua perempuan itu saling berbisik. Clara mengeluh, jelas kalau dia ragu ceritanya dapat dipercaya oleh inspektur polisi itu.
Melihat Clara yang pesimis, Vio mendesah. Dari ekspresi Rio yang dia lihat saat tadi mendengar penjelasan Clara, dia pun merasa demikian. Namun, ketika mendengar kata-kata Rio saat menjelaskan situasi ini pada pimpinannya, Vio merasa lebih optimis. Meski tak percaya, setidaknya Rio tak mengabaikan tulang-tulang itu.
Beberapa saat lalu, Clara menceritakan fenomena tak masuk akal yang dialaminya. Dari awal sampai akhir. Tidak ada yang ditambah, apalagi dikurang. Dia bahkan menunjukkan buku catatannya yang memuat rangkuman atas kejadian itu.
Air muka Rio setelah mendengar cerita Clara jelas sekali memperlihatkan ketidakpercayaan. Dia berkata, “Sori, tapi sepertinya ceritamu terlalu sulit buat dipercaya,” sambil mengembalikan buku kecil Clara. Namun, intonasi dari kalimat itu tidak mengesankan rasa remeh.
Vio maju selangkah, menyusup di antara Rio dan Clara. Sementara Clara sedikit menjauh, dua sejoli itu kembali saling memandang sengit.
“Bukannya tadi kau bilang perlu bukti?” ucap Vio. “Aku sudah kasih bukti itu, tapi kau tetap nggak percaya. Maumu apa, sih, sebenarnya?”
Rio memilih diam.
Vio mendesah. “Aku tahu kalau seorang penyidik itu wajib berpikiran logis. Tapi, Rio, coba kau cerna baik-baik. Cerita Clara memang terdengar nggak masuk akal, tapi itu bukan kebohongan. Kalau memang dia berbohong, bagaimana mungkin kami bisa menggali lubang yang berisi tulang-tulang itu?”
Rio tertegun sesaat. Sambil menyilang lengan, dia menimbang-nimbang. Meski tak menemukan alasan yang tepat untuk menyanggah cerita Clara, dia tetap tak bisa percaya. Baginya, semua itu terdengar seperti cerita fiktif di film-film horor. Sangat tidak masuk akal.
Reserse 28 tahun itu menggeleng mantap. “Aku tetap nggak bisa percaya sebelum melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.”
Sunyi senyap.
Baik Clara, apalagi Vio, tidak akan bisa membuktikannya pada Rio sekarang. Mau bagaimana lagi, Clara memang tak pernah tahu bagaimana caranya dia bisa melihat memori kelam penuh darah yang datang secara mendadak. Termasuk penampakan yang menuntunnya menemukan rumah besar muram yang ternyata menyimpan rahasia kelam.
Melihat tidak adanya respons, Rio berjalan menuju lubang seraya berkata, “Pokoknya, aku panggil dulu tim Inafis ke sini. Tulang-tulang itu perlu diamankan secepatnya.” Sesampainya di sana, dia menoleh pada Vio. “Aku juga perlu mengabari komandan,” tambahnya sebelum mulai menelepon.
Saat ini, Iptu Rio Ferdian yang baru saja memutus panggilan telepon mendekati Clara. “Jadi, bagaimana?” tanyanya. “Bisa kaubuktikan ceritamu itu sekarang?”
Clara ragu-ragu, wajahnya menekuk. “M-maaf … saya ….” Dia menggeleng cepat. “Nggak bisa. Semuanya terjadi tiba-tiba. Saya nggak bisa membuktikannya.”
“Tuh, kan?” tanggap Rio seraya beralih pandang ke Vio. “Lebih baik kalian ceritakan yang sebenarnya saja. Jangan mengarang cerita.”
“Rio!” Vio membentak, tak terima dengan perkataan teman baiknya yang kelewat skeptis. “Nggak ada yang mengarang cerita di sini!”