Mungkin sekarang Naura dan Kavin sudah saling menjambak rambut, kalau saja tidak segera dipisahkan oleh Wildan dan Rifan. Akhirnya Kavin pun memilih untuk pergi dari sana dengan perasaan dongkol. Dan tanpa disadari oleh yang lain, tiba-tiba Naura menyunggingkan senyum kemenangannya.
Apakah rencananya kali ini berhasil? Sepertinya iya.
"Lo berdua ngapain masih di sini? Sana pergi, lo urus tuh bos lo yang lagi ngambek!" usir Naura pada Wildan dan Rifan yang ternyata masih berada di tempatnya.
"Emang gue emaknya!" sentak Rifan yang memang terkesan sangat blak-blakan dalam berbicara. Tanpa diduga-duga, dia pun kembali duduk yang kemudian diikuti oleh Wildan. "Justru di keadaan yang kayak gini, kita harus menjauh dari dia. Kita berdua nggak mau ambil resiko buat jadi pelampiasan emosi dia sekarang."
Wildan menyuapkan sesendok makanan yang masih tersisa sedikit di piringnya. Dia mengunyah secara perlahan sebelum kemudian menelannya bulat-bulat. "Nau, lo emang se-dendam itu ya sama Kavin?"
Naura memutar matanya bosan. Dia menaruh kembali sendok berisi makanan yang tadi hendak dia masukkan ke dalam mulut. "Menurut lo? Emang ada orang yang nggak dendam sama orang yang selalu menjadi masalah buat dia? Selain itu, coba lo sebutin, orang mana yang nggak akan dendam kalo mereka terus-menerus menjadi korban bullying-nya?!"
Wildan dan Rifan saling melirik dalam diamnya. Naura yang menyadarinya langsung mengerti arti dari tatapan tersebut. Lalu dia tertawa dengan sinis. "Kenapa malah diam? Nggak bisa jawab?!"
"Bukan begitu, Nau," sergah Wildan, "Lo pasti tahu 'kan kalo gue, Rifan dan Kavin itu udah berteman lama banget. Menurut gue, Kavin melakukan itu pasti ada alasannya."
Naura berdecih. "Jadi maksud lo, lo memaklumi perbuatan Kavin yang selalu membuat masalah dengan membully anak-anak lain di sekolah ini?!"
Wildan kembali terdiam begitu juga Rifan yang sepertinya memang memilih untuk menyimak saja daripada ikut menimbrung ke dalam percakapan serius antara Wildan dan Naura.
"Nggak waras lo, Wil!" sentak Naura dengan emosinya yang mulai terpancing. "Apa pun alasannya, kalo salah ya salah! Nggak akan ada pembenarannya! Emang lo kira menyakiti orang lain itu hal yang wajar?!"
"Nau, dengerin gue dulu!" sela Wildan yang mencoba mencari celah untuk mendominasi dalam obrolan tersebut.
Naura mengambil oksigen sebanyak mungkin untuk mengisi paru-parunya yang terasa sesak karena diselimuti oleh amarahnya. "Dan lo bilang apa tadi? Teman? Kalo lo berdua emang teman, harusnya lo mengarahkan dia ke jalan yang benar, bukan malah ikut-ikutan ke jalan yang sesat!"
"Kavin nggak akan mulai, kalo mereka nggak cari masalah sama dia duluan, Nau!" Wildan tampak masih berusaha untuk terus mendebat ucapan yang dilontarkan Naura.
"Menyelesaikan masalah juga nggak harus dengan otot, Wil! Kalian 'kan bisa membicarakannya secara baik-baik dan dengan kepala yang dingin. Gue yakin, masalah pun bakalan cepat selesai! Berbeda kalo kalian masih ngotot pakai otot, masalah yang sebenarnya sepele akan jadi makin runyam nantinya!"
Wildan seperti sudah kehabisan kata-kata. Bahkan untuk membuka mulut saja dia tidak bisa. Serangan Naura benar-benar berhasil membuatnya bungkam. Kini dia mulai paham, kenapa Kavin tidak pernah menang kalau adu argumen dengan perempuan satu ini. Ternyata selain kuat mentalnya, Naura adalah gadis yang sangat pintar dalam berbicara dan memutar balikkan ucapan dari lawan bicaranya.
"Kalo nggak ada yang mau lo omongin lagi sama gue, mending lo berdua enyah deh dari hadapan gue! Gara-gara ngeliat wajah kalian, nafsu makan gue jadi hilang sekarang!" usir Naura dengan kasar. "Susulin tuh Kavin, katanya teman 'kan? Kalo teman bukannya harus selalu ada ya? Bujuk dia sana, biar nggak marah lagi."