Angin laut berhembus lembut dari arah barat, membawa aroma asin yang bercampur dengan wangi bunga zaitun yang berguguran di sepanjang jalan batu putih. Langit Santorini membara—gradasi jingga, ungu, dan biru yang bertemu di horizon, seolah Tuhan sedang melukis dengan jari-jari cahaya.
Tasya berdiri di tepi tebing Oia, kameranya tergantung di leher, sementara jemarinya yang dingin menekan rana pelan. Klik. Suara itu seperti denyut waktu, menandai setiap detik yang ia coba simpan—agar tidak hilang lagi.
Dia sudah seminggu di pulau itu. Sendiri. Perjalanan yang seharusnya jadi proyek fotografi untuk majalah seni, sebenarnya adalah pelarian. Pelarian dari patah hati yang nyaris membunuhnya.
Ia masih bisa mengingat wajah pria itu—tawa yang dulu terasa seperti rumah, kini menjadi luka yang menolak sembuh. Pria yang memilih pergi tanpa penjelasan, meninggalkannya di tengah proyek, di tengah cinta yang belum selesai.
Dan Tasya, seperti kebiasaannya, memilih lensa untuk menyembunyikan air mata.
“Kadang yang paling ingin kita hapus justru yang paling jelas di ingatan,” gumamnya lirih, lebih kepada angin daripada dirinya sendiri.
Suara kamera terdengar lagi. Klik.
Siluet kapal pesiar di kejauhan melintas, meninggalkan buih putih di lautan Aegea. Ia menunduk, menatap layar kameranya—namun saat itu, sesuatu muncul di refleksi lensa.
Sekilas.
Bayangan seseorang.
Berdiri di sisi tebing, beberapa meter di belakangnya.
Tasya refleks menoleh—
Kosong.
Hanya suara ombak dan angin yang menampar lembut wajahnya.
Ia mengerutkan kening.
“...Aku yakin tadi ada orang.”