Fajar datang perlahan di Santorini, seperti seseorang yang ragu untuk membangunkan dunia. Kabut tipis menutupi langit biru, dan dari jendela vila, laut tampak tenang — terlalu tenang, hingga keheningannya terasa menipu.
Tasya berdiri di balkon, mengenakan sweater abu-abu, rambutnya berantakan, wajahnya pucat. Ia tidak tidur semalaman. Kamera di meja masih di sana, seolah menatapnya kembali. Foto terakhir itu masih ada di benaknya — foto dirinya, dengan sosok asing di belakang. Ia mencoba meyakinkan diri bahwa itu hanya kesalahan sistem. Tapi bahkan kata kesalahan terasa rapuh saat kenyataan yang ia rasakan justru makin kabur.
Pagi itu, ia memutuskan untuk kembali ke tempat yang sama — tebing putih Oia, tempat ia memotret senja kemarin. Mungkin, pikirnya, dengan kembali ke sana ia bisa mengerti sesuatu. Atau setidaknya, membuktikan bahwa semuanya hanya kebetulan.
Langkahnya bergema pelan di jalan berbatu. Turis-turis belum keluar, toko-toko masih tertutup. Santorini di pagi hari terasa seperti dunia lain — sepi, dingin, dan terlalu indah untuk benar-benar nyata.
Sampai akhirnya, ia tiba di tebing itu. Angin laut berembus kencang, memukul wajahnya dengan aroma garam. Langit masih berwarna abu keperakan, menyatu dengan laut di bawah sana.
Ia menatap ke arah yang sama seperti kemarin. Tempat ia menemukan gelang. Tempat siluet itu berdiri. Namun kali ini, gelang itu sudah tidak ada. Hanya jejak kaki samar di tanah pasir, dan potongan kain kecil — hitam, dengan ujung terbakar.
Tasya menatap benda itu lama, kemudian mengangkat kameranya, memotret. Sekali. Dua kali. Lalu ia berhenti, mendengarkan sesuatu.
Desir langkah.
Pelan. Berirama.