Cahaya putih menyilaukan. Lalu samar-samar, aroma antiseptik. Bunyi mesin monitor berdetak perlahan, seolah menghitung kembali denyut kehidupan yang nyaris terputus. Kelopak mata Tasya bergetar. Ia membuka matanya perlahan. Langit-langit putih. Tirai tipis berayun lembut tertiup angin dari jendela yang terbuka. Semua terasa asing — terlalu bersih, terlalu hening.
Tasya berusaha duduk, tapi kepalanya berat. Setiap gerak kecil menimbulkan rasa nyeri di pelipis, seolah ada sesuatu di dalam kepalanya yang hilang sebagian. Ia menatap sekeliling. Kamar itu luas dan berkelas, dengan furnitur kayu pucat dan vas berisi bunga peony putih di sisi tempat tidur.
Tapi anehnya, tak satu pun terasa miliknya.
Pintu terbuka pelan. Seorang perawat masuk — perempuan berambut pirang dengan wajah lembut.“Oh, Tuhan… kau sudah sadar!” katanya dengan nada lega, lalu memanggil seseorang di luar, “Dokter, pasiennya sudah siuman.”
Langkah kaki terdengar, disusul seorang dokter muda masuk. Ia berbicara dengan aksen Yunani yang lembut. “Selamat datang kembali ke dunia, nona. Bagaimana perasaanmu?”
Tasya mencoba menjawab, tapi suaranya hampir tak keluar. “A… aku di mana?”
“Rumah sakit Santorini. Kau ditemukan jatuh dari tebing, dua hari lalu.” Dokter itu menulis sesuatu di catatannya. “Kau beruntung sekali, orang yang menemukanmu berkata kau masih bernapas saat mereka tiba.”
Tasya mengernyit. “Orang yang menemukan… aku?”
Dokter itu tersenyum samar. “Ya. Seorang pria. Ia yang membawamu kemari. Tapi ia menolak menyebut namanya — hanya meninggalkan pesan untukmu.”
Tasya menatapnya, dada berdebar. “Pesan?”
Dokter itu mengangguk, mengambil secarik kertas dari saku jasnya, lalu menyerahkannya padanya. Kertas itu sederhana, terlipat rapi, dan basah di ujungnya — seolah pernah tersentuh tangan laut.