Memori di Santorini

Muhammad Haryadi
Chapter #6

Rumah Batu di Lereng Aegea

Pagi di Santorini datang dengan cahaya lembut yang menembus tirai putih kamar rumah sakit. Tasya duduk di dekat jendela, menatap laut biru yang tak berujung. Sudah seminggu sejak ia mengenal nama “Arsen.” Namun rasa itu — antara percaya dan rindu pada sesuatu yang tak dapat ia ingat — makin dalam, seperti benang halus yang menariknya pelan ke arah yang sama, laut.

Sore itu, langkah Arsen terdengar lagi di depan kamarnya. Suara sepatunya berbeda — tenang, tapi berat seperti seseorang yang membawa masa lalu di bahunya. Ia datang tanpa mengetuk, tapi entah kenapa Tasya tidak terganggu. Justru kehadiran pria itu membuat ruang terasa lebih hidup.

“Apa kau sudah lebih baik?” Suara itu rendah, lembut, tapi ada ketegangan di dalamnya.

Tasya menatapnya, lalu tersenyum tipis. “Aku masih tidak tahu siapa diriku. Tapi… aku mulai terbiasa dengan ketidaktahuan itu.”

Arsen memandangi wajahnya lama, seperti ingin berkata sesuatu tapi menahan diri.

Lalu, tanpa banyak kata, ia menaruh sesuatu di meja: seikat kecil bunga lavender kering, terikat pita kain putih. “Aku tinggal tidak jauh dari sini,” katanya perlahan. “Rumahku di lereng Aegea. Jika kau sudah cukup kuat untuk berjalan, datanglah. Ada sesuatu yang ingin kutunjukkan padamu.”

Tasya mengerutkan kening. “Sesuatu?”

Arsen tersenyum samar. “Mungkin hanya tempat. Atau mungkin… ingatan yang menunggu.” Ia tak memberi kesempatan Tasya bertanya lebih jauh. Hanya satu anggukan kecil sebelum ia pergi meninggalkan aroma laut dan lavender yang samar.

Keesokan harinya, Tasya mengikuti arah yang Arsen sebutkan. Langit sore Santorini berwarna keperakan, seperti kabut di atas marmer putih. Ia berjalan di sepanjang jalan batu yang sepi, hanya burung camar di atas kepala dan suara ombak di bawah tebing.

Rumah itu muncul di ujung jalan —rumah batu tua dengan dinding abu muda dan jendela berbingkai kayu biru. Pintu depannya terbuka sedikit, seolah memang menantinya. Tasya berdiri sejenak di depan, menatap bangunan itu. Aneh. Ia tahu ia belum pernah ke sini. Tapi setiap batu, setiap aroma garam di udara terasa akrab… seperti déjà vu yang terlalu kuat untuk diabaikan.

Lihat selengkapnya