Memori di Santorini

Muhammad Haryadi
Chapter #10

Panggilan Telepon dari Jakarta

Pagi di Santorini jatuh seperti patahan kaca keperakan di permukaan laut. Sinar matahari yang memantul dari jendela rumah sakit membuat seluruh ruangan tampak terlalu terang bagi kepala Tasya yang masih berat oleh mimpi semalam. Ia duduk bersandar, memegang gelas air, sementara bayangan dari mimpi itu masih menempel seperti aroma yang tidak mau hilang.

Gadis di pantai. Clipper yang ia nyalakan. Arsen yang tertawa di tangannya. Mimpi itu terasa seperti sesuatu yang pernah terjadi—dan itu menakutkan. Ia bahkan masih merasakan sentuhan phantom di jemarinya, seakan ia baru saja mencukur seseorang dan sisa rambut halus itu masih menempel di kulitnya.

Ketika pikirannya mulai tenggelam lagi dalam bayangan itu, suara telepon rumah sakit memecahkan keheningan.

Kring… Kring… Kring…

Suara itu tajam, kontras dengan keheningan mahal yang mengisi ruangan. Perawat masuk, wajahnya tenang. “Miss Tasya, ada telepon… dari Jakarta.”

Tasya terpaku. Jakarta.

Suara itu seperti sebuah pintu yang tiba-tiba dibuka paksa ke ruang yang selama ini ia tidak sadari ada. Hatinya menegang, napasnya hampir berhenti.

“Siapa?” tanyanya pelan.

“Beliau tidak menyebutkan nama,” jawab perawat itu, sedikit ragu. “Namun suaranya terdengar… mendesak.”

Tasya menelan ludah dengan susah payah.

Ia berdiri, melangkah perlahan. Setiap langkah menuju telepon di meja resepsionis terasa seperti menembus lapisan-lapisan kabut. Dunia terhampar dalam warna yang lebih pucat, lebih dingin.

Perawat menyerahkan gagang telepon.

Tasya memegangnya dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Hallo…?” suaranya kecil, namun bergema di ruangannya sendiri.

Beberapa detik hening. Kemudian—suara berat seorang pria masuk. “Tasya.”

Suara itu membuat bulu kuduknya tegak. Suara itu… asing. Namun ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, seolah ada bagian kecil dari jiwanya yang mengenali, tapi menolak menerima.

Lihat selengkapnya