Memori di Santorini

Muhammad Haryadi
Chapter #11

Surat Tak Terkirim

Hujan halus turun di Santorini siang itu—langka, namun justru memberi nuansa seolah seluruh pulau menahan napas. Langit yang biasanya jernih kini berwarna kelabu biru, seperti potongan emosi yang tergantung tak tersampaikan.

Tasya duduk di tepi ranjang, memeluk dirinya sendiri. Kata-kata lelaki di telepon terus berputar seperti gema yang tidak mau hilang.

“Jangan percaya siapa pun yang ada di dekatmu.”

“Mereka mengambil ingatanmu.”

“Aku ayahmu.”

Namun tatapan Arsen sebelum ia meninggalkan ruangan barusan… tatapan itu hangat, lembut, begitu manusiawi. Dan itu membuat semuanya semakin rumit. Semakin membingungkan.

Ketika Tasya berdiri untuk mengambil air, sesuatu jatuh dari lipatan selimut rumah sakit—sehelai amplop tipis berwarna gading tua. Tasya mengerutkan kening.

Amplop itu tampak lama, lusuh di tepinya, dan berbau debu bercampur aroma lavender samar. Di bagian depan, ada tulisan tangan yang elegan namun sedikit bergetar:

Untuk: Tasya

Tidak ada tanggal. Tidak ada alamat.

Hanya… namanya.

Ia duduk kembali, menggenggam amplop itu dengan jemari yang tiba-tiba basah oleh keringat. Tenggorokannya menutup.

Siapa yang menaruh ini? Kapan?

Bagaimana bisa amplop ini berada di ranjangnya—di ruangan yang nyaris tidak dimasuki siapa pun selain perawat dan Arsen?

Dengan napas tertahan, ia membuka amplop itu perlahan. Di dalamnya ada selembar kertas tipis, sedikit menguning, dengan tinta hitam yang telah memudar di tepian.

Tulisan itu indah… tapi menyakitkan untuk dibaca.

Tasya—

Jika kau membaca ini, berarti aku gagal menjagamu.

Ada banyak hal yang tidak bisa kukatakan saat kau masih… “utuh”.

Dan banyak hal yang tidak pernah bisa kukatakan tanpa menghancurkanmu.

Tasya gemetar. Kata-kata itu terasa seperti pisau kecil yang menyusuri jantungnya.

Aku harus menghilang dari hidupmu, bukan karena aku ingin… tetapi karena seseorang tidak mengizinkanku berada di dekatmu.

Seseorang yang lebih kuat dari kita.

Seseorang yang sangat kau percayai.

Napas Tasya tercekat.

Seseorang yang ia percayai? Siapa? Arsen? Atau… ayah di telepon itu? Atau orang lain yang belum ia ingat?

Ia melanjutkan membaca, jari-jarinya semakin dingin.

Aku menulis ini malam sebelum kau mengatakan ingin bepergian ke Yunani.

Lihat selengkapnya