Hujan telah reda, namun meninggalkan kabut tipis yang memeluk Santorini seperti rahasia yang enggan pergi. Tasya berdiri di jendela, memandang laut Aegea yang kini berwarna kelabu perak—indah, namun menyimpan kedalaman yang tak terlihat dari permukaan.
Arsen telah pergi sejak setengah jam lalu, meninggalkan aroma kopi dan sesuatu yang lebih halus—cologne dengan sentuhan kayu cedar dan garam laut. Tasya tidak tahu mengapa ia begitu mengingat detail-detail kecil tentang pria itu. Seolah tubuhnya mengingat apa yang pikiran sadarnya tolak untuk kenali.
Surat M masih tersimpan di bawah bantalnya. Kata-katanya seperti duri yang tertanam dalam—tidak berdarah, tapi terus terasa.
"Yang terlihat aman kadang yang berbahaya."
Tasya mengusap wajahnya, mencoba menenangkan napas yang terus memendek sejak tadi pagi. Ia butuh sesuatu. Bukti. Tidak bisa terus hidup dalam ketidakpastian seperti ini—terjebak di antara suara ayah yang mungkin palsu dan tatapan Arsen yang mungkin berbahaya.
Matanya jatuh pada tas kamera hitam di sudut ruangan.
Tas itu.
Tas yang diselamatkan dari kecelakaan. Tas yang Arsen katakan ditemukan tidak jauh dari tubuhnya yang tergeletak di tebing Oia. Tasya belum pernah membukanya sejak bangun dari koma. Entah karena takut… atau karena tidak siap.
Tapi kini, dengan surat di bawah bantalnya dan suara telepon yang menghantui, ia tidak punya pilihan lain. Dengan langkah pelan, ia mendekati tas itu. Ritsleting terbuka dengan bunyi lembut namun terasa sangat keras di tengah keheningan kamar. Di dalamnya, satu kamera DSLR, beberapa lensa cadangan, charger, dan… sebuah hard disk portabel kecil berwarna hitam matte.
Tasya mengeluarkan kamera itu dengan hati-hati, seolah ia memegang serpihan masa lalunya yang rapuh. Canon EOS R5. Profesional. Mahal. Dan ada goresan kecil di sisi kanannya—bekas jatuh, mungkin.
Ia menyalakan kamera. Layar LCD menyala dalam cahaya biru lembut. Baterai masih 12%. Cukup. Jari-jarinya gemetar saat membuka galeri foto.
Foto pertama
Sunset di Oia. Kubah biru gereja Orthodox berpadu dengan langit jingga keemasan. Komposisi sempurna. Profesional.
Tasya mengernyit. Ia mengambil foto ini? Kapan?
Foto kedua
Sebuah kafe di tepi jalan dengan meja kayu tua dan bunga bouga invillea merah menjuntai. Ada dua cangkir kopi di atas meja—satu masih penuh, satu setengah kosong.
Seolah seseorang baru saja pergi.
Foto ketiga
Tangan seorang pria. Hanya tangannya—jemari panjang, kuat, dengan urat halus terlihat di punggung tangannya. Cincin perak sederhana melingkar di jari tengah.
Tasya menelan ludah. Ada sesuatu yang familiar dari tangan itu. Sangat familiar.
Foto keempat
Pantai berpasir hitam. Seorang lelaki berdiri membelakangi kamera, menatap laut. Siluet tinggi, bahu lebar, rambut gelap sedikit berantakan tertiup angin.