Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #1

Prolog

Aku selalu terpana pada cara alami kita membentuk diri. Kalau aku bisa melihat bagaimana naifnya jiwaku, diriku di masa lalu, mungkin aku bakal dilanda rasa malu yang tak terkira.

Bagi ibuku saat itu, perjalanan menjadi dirinya adalah memiliki kami. Ketiga putra-putrinya. Aku Anak kedua, Wendi adik bungsuku, beberapa tahun di atas kami, Anin menjulang tinggi dalam banyak hal. Kakak sulungku, putri yang didamba-dambakan ayah dan ibuku beberapa tahun setelah pernikahan mereka. Kadang-kadang aku berpikir, memiliki aku dan Wendi, bukanlah sebuah kebutuhan mutlak. Tapi Anin Berbeda.

Ibuku yang bahkan tidak lulus SD. Karena jarak rumah dan sekolah yang terlalu jauh, sehingga ia menyerah di tengah jalan beberapa bulan sebelum Ujian kelulusan Sekolah Dasar. Lantaran tak tahan diejek anak-anak kota karena ibuku terlalu miskin untuk membeli sepatu, tiap hari ia jalan kaki belasan kilo ke sekolah bertelanjang kaki.

Ibuku tumbuh dan dibesarkan di balik perbukitan yang mengular dan saling berdesak-desakkan, sebuah ceruk yang terbentuk karena gerakan Sesar Citarik di masa lalu, hijrah ke Jakarta di usia sangat belia dan menjadi Asisten Rumah Tangga di rumah keluarga-keluarga kaya, lantas dilamar ayahku tidak lama setelahnya. Putra seorang ulama terpandang di daerah itu, yang hidup di rumah bercat putih dengan banyak jendela dan sepenuhnya terbuat dari dinding beton, tepat sepelemparan batu di tepi Sungai Puraseda yang agung.

Kata Ibu, ayahku dulu mengajar di SD tempat ia bersekolah. Mereka bertemu kembali ketika usia Ibuku 18 tahun, menikah tanpa saling mengenal secara pribadi karena perjodohan singkat yang diupayakan ayah dan kakekku sendiri. Lantas meninggalkan rumah gadisnya, tinggal di kampung ayahku yang jauh lebih modern karena dekat sekali dengan akses jalan ke kecamatan, pasar, dan sekolah-sekolah. Ironisnya, saat itu Ibuku sudah tidak lagi bisa melanjutkan pendidikannya.

Meski sejak belia ia sudah dianugerahi paras yang jelita, Ibuku selalu merasa rendah diri dan kerap menjadikan status gadis udiknya sebagai pijakkan dalam bersikap, merespon sesuatu, dan menunjukkan tata kramanya meskipun itu melukai hatinya. Terlebih keluarga ayahku rata-rata berprofesi sebagai guru, ulama, atau pendidik. Di hari ketika ia memasuki rumah mertuanya, rumah kakekku, ibuku merasakan perbedaan mencolok tersebut, bahkan di udara yang dihirupnya. Sejak hari itu, barangkali dunianya mulai terasa sempit, tidak lagi selebar lembah masa kecilnya yang terbuka serupa Coloseum raksasa.

Ketika ia memiliki Anin, hidupnya berubah. Anin adalah belahan jiwa ibuku, bagian dirinya yang mungkin seharusnya terlahir bersamanya. Ibuku mulai merasa nasib kembali berpihak padanya.

Setidaknya itulah yang ia pikirkan.

Lihat selengkapnya