Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #2

Anin

Anin adalah kakak sulungku. Lebih tua 6 tahun. Lebih tinggi dan lebih pintar. Ketika kami masih jauh lebih kecil, dia selalu menolak tiap kali aku mengekorinya.

Kadang-kadang kalau sedang marah, dia bakal mengarang-ngarang julukan untukku. Julukan yang entah bagaimana selalu membuatku tersengat dan menangis.

“Sana main sendiri!” Katanya tersinggung. “Kau tidak boleh bermain denganku dan kawan-kawanku. Kami perempuan, kau tidak boleh memainkan permainan anak perempuan. Main bola sana di lapangan!”

Aku tidak suka bermain bola. Lebih tepatnya aku tidak becus. Pada banyak kesempatan aku seringkali ikut serta dengan anak laki-laki sebayaku hanya karena aku tidak memiliki siapa-siapa untuk diajak bermain. Nyatanya aku tidak suka bermain bola kecuali pada hari hujan saat aku punya alasan untuk basah-basahan dan bermain lumpur.

Anak laki-laki di lingkungan kami pun, yang sebagian besar pergi bersekolah di inpres di belakang rumahku, tidak terlalu toleran terhadap ketidak-besusanku sebagai penjaga gawang. Apalagi sebagai gelandang yang seringkali mengacaukan permainan. Karena itu mereka lebih sering mengabaikanku karena tabiatku juga susah ditebak. Aku pernah memukuli salah satu dari mereka dan kesulitan menghentikan diri kalau saja ayah kami masing-masing tidak turun tangan melerai.

Karena itu bermain dengan kakak perempuanku adalah pilihan teraman dan kurang beresiko. Meskipun aku harus rela saat mereka merias wajahku diam-diam dan memakaikan gaun ulang tahun mereka yang kekecilan ketika orang tua kami pergi kondangan pada akhir pekan.

Ngomong-ngomong kedua orang-tuaku konservatif. Tentunya dalam taraf yang wajar pada masa itu. Orang-tua manapun bakal kaget kalau melihat anak laki-laki kebanggan mereka merias diri dengan make-up ibunya. Lagi pula, aku adalah anak laki-laki satu-satunya di keluarga kami.


*

Lihat selengkapnya