Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #3

Leo dan Sigi

Selain bermain dengan para sepupu yang jumlahnya berlimpah, Leo dan Sigi adalah sahabat baikku. Mereka sebenarnya satu tahun di bawahku ketika aku kelas lima SD, tapi entah bagaimana kami sering nongkrong bareng sehingga aku tidak kesulitan menganggap mereka sebaya denganku. 

Sigi dan aku seharusnya duduk di kelas lima, tapi ia pernah tinggal kelas karena alasan tertentu yang masih misterius bagiku. Karena dia tidak bodoh, dan tidak pernah bermasalah sampai-sampai dipanggil menghadap Kepala Sekolah sebagaimana tipikal cowok-cowok badung lainnya di sekolahku.

Suatu hari, aku menyelinapkan walkman Anin di dalam tas slempang Alien Workshop-ku yang sampai saat ini selalu membuatku heran kenapa waktu itu selalu menemaniku kemana-mana. Oh benar, aku baru ingat sehubung letak rumahku yang jauh dari sekolah maupun madrasah tempat kami merapal dan menyambung huruf-huruf hijaiyah pada sore hari, tas itu bakal selalu dijejali buku, saputangan (karena waktu itu aku sering ingusan), uang saku dan kadang-kadang botol air. Sehingga aku akan selalu menemukan apa yang aku butuhkan tanpa harus pulang ke rumah.

Meski baik di Kampung Gudang maupun Kampung Kaum yang dipisahkan aliran Sungai Puraseda aku punya banyak kerabat, yang bisa dengan mudah menjadi persinggahan kalau-kalau aku haus dan kelaparan, tetap saja aku lebih menyukai keluyuran kemana-mana tanpa diketahui mereka.

Detilnya sangat rumit dan memiliki sangkut paut dengan Ibuku, yang mudah-mudahan nanti bakal kuceritakan di halaman lain.

Leo, Sigi dan aku melesat ke belakang bangunan madrasah dan membolos dua sesi terakhir setelah sholat ashar, duduk di atas keramba dan bergantian mendengarkan musik dari walkman Anin. 

Meski untuk menuju kesana, kami harus menuruni undakan tangga semen licin yang dilapisi lumut kehijauan. Juga sebuah jembatan kayu selebar satu hasta yang rapuh. Jembatan tolol yang satu kali pernah membuatku terperosok ke dalamnya hingga tumit kananku terluka parah dan jalanku terpincang-pincang, karena aku terlalu bersemangat mengejar para sepupu dan menghantam permukaan kayu rapuhnya dengan hentakkan keras yang ceroboh.

Kami sudah beberapa minggu membolos di sana. Keramba itu adalah model keramba beton yang menempel disisi sungai. Dengan bagian atas terbuka lebar hanya dilapisi bentangan jaring besi yang dengan sempurna menyangga tubuh-tubuh kurus kami yang basah kuyup setelah sebelumnya terjun dari jembatan gantung atau batang pohon waru yang terulur ke badan sungai seperti leher bengkok unggas purba di buku sejarah.

Mereka menyebutnya raning (barangkali berasal dari kata running water dalam bahasa Inggris, karena cara kerjanya memang sepenuhnya bergantung pada aliran sungai yang membuat ikan-ikan mas di dalamnya terus-menerus berenang).

Kebetulan, keramba yang biasa kami gunakan untuk nongkrong, membual, serta menakuti anak-anak perempuan teman sekelas kami di madrasah yang pulang-pergi melintasi jembatan gantung itu, sudah terbengkalai selama bertahun-tahun. Alih-alih ikan mas jumbo berbagai ukuran yang menari-nari di bawah kami, aliran air dangkalnya menerobos melalui lapisan lumpur mengeras yang ditumbuhi sejenis tumbuhan putri malu berukuran besar.

Di dalam tas Alien, aku menjejalkan tiga kaset milik Anin. Album Perdana Westlife, soundtrack Dilwale Dulhania Le Jayenge, dan album Petualangan Sherina yang kubeli dengan sisa uang yang kumiliki dari THR lebaran sebelumnya. Leo sendiri mengantongi album soundtrack Downson’s Creek milik paman bujangannya—aku tidak ingat siapa namanya.

Ketika kami berdua turun ke sungai dan adu menyelam, Sigi menjaga barang-barang kami di atas keramba seraya mendengarkan musik dari Walkman Anin. Sampai sekarang, aku masih sedikit kebingungan mengenai selera musiknya. Karena bahkan saat itu, ia tidak pernah protes kalau kami memutuskan jenis musik apa yang ingin kami dengarkan. Seolah-olah ia dianugerahi kemampuan untuk menikmati apapun yang ditawarkan hidup padanya. Yang seharusnya memberiku firasat mengenai perkembangan hubungan kami ke depannya hingga akhir halaman buku ini.


*


Jembatan gantung itu menghubungkan Bale Miring dan Gudang. Pada jam-jam ketika kami nongkrong di sana, madrasah sudah bubar dan lautan anak-anak perempuan muncul dari tikungan di ujung turunan di belakang bangunan ‘Sekolah Sore’—nama lain madrasah yang umum digunakan kala itu, bahkan tidak menutup kemungkinan masih digunakan hingga sekarang.

Sebagian besar anak-anak perempuan Bale Miring berkerudung warna putih kebiruan hasil rendaman blau ibu-ibu mereka, baju-baju terusan berbagai warna (karena madrasah kami dijejali lebih banyak anak-anak miskin, karena itu baju seragam bukan kewajiban. Bahkan seingatku Sekolah Sore kami memang tidak memiliki seragam resmi), dan satu dua menyandang ransel dengan sablon murahan bergambar karakter-karakter kartun. Sementara sebagian yang lain menjinjing kantung plastik swalayan untuk menampung satu buku tulis, buku iqro menguning yang sudah tak berhalaman, pisau cutter seribu perak, serutan dengan cermin bulat di belakangnya yang dijual di warung-warung dalam toples plastik, penghapus bendera negara-negara, dan sebuah pensil yang ujungnya dikikis sepipih mungkin untuk menulis huruf dan kalimat-kalimat dalam aksara Arab yang eksotik dan penuh lekukan sebagaimana angsa betina yang pongah di kolam keramat sebuah keraton tua.

Baik aku, Leo, dan Sigi telah melucuti pakaian kami di atas hamparan jaring keramba ikan. Menumpuknya di atas tas slempangku yang terbuka, G-shock imitasi milik Leo, dan komik Cacat Abadi karya Kajiwara Ikki dan Takamori Asao terbitan Rajawali Grafiti milik abang Sigi. Kami bertiga hanya mengenakan celana dalam berkaret kendor dengan bagian belakang menipis dan bolong-bolong.

Sialnya tanpa kami sadari, lautan anak perempuan itu tengah menuju ke arah jembatan dalam grup-grup tertentu dengan barisan dan langkah yang berirama seakan digerakan oleh sebuah komando, nyaris bersamaan ketika kami bertiga berada di tengah-tengah jembatan untuk meloncat ke bagian sungai terdalam di bawahnya.

Baik Leo dan Sigi sudah sangat terampil melakukan semua itu nyaris tanpa membutuhkan dorongan apapun dalam dua arti yang berbeda. Mereka meloncat, melayang, terkadang melakukannya dengan gerakan salto yang mencengangkan.

Lihat selengkapnya