Ketika kami masih kanak-kanak, para orang tua tak pernah mengizinkan kami turun ke sungai tanpa pengawasan anak yang lebih besar. Biasanya itu terjadi saat perhelatan tengah berlangsung, arisan atau perkumpulan keluarga di rumah nenekku.
Kami nyaris sepakat bahwa setelah perjamuan selesai dihidangkan, maka akan ada obrolan panjang di ruang tamu. Entah itu perihal sengketa tanah, rencana pernikahan, musim panen, atau obrolan-obrolan membosankan tentang mesin jahit dan bedak tabur yang sama sekali tak pernah mewakili minat kami sedikitpun.
Seringkali kami juga dikumpulkan di satu ruangan yang sama oleh salah satu Ummi, ditanya satu-persatu tentang siapa yang sudah berpuasa penuh selama bulan Ramadhan, siapa yang sudah hafal bacaan sholat, siapa yang sudah hafal juz-amma, atau siapa yang punya prestasi-prestasi tertentu di sekolah.
Ketika itu terjadi, sering kali aku tak ingin terlibat dan disorot karena faktanya aku terlambat melek huruf, aku membenci kisah-kisah teladan yang membosankan, dan aku hanya membaca buku-buku yang kuanggap penting. Toh, ketika aku beranjak dewasa, aku tidak tumbuh menjadi anak durhaka atau apa. Hampir bisa dikatakan perkembanganku dalam banyak hal nyaris seragam dengan para sepupuku yang lain. Terutama dalam pemahaman agama, yang sejak kecil begitu ditanamkan nyaris tanpa upaya persuasif oleh para orang tua kami. Yang saat itu kubutuhkan hanya sedikit panduan, dan kebebasan. Buktinya aku tidak dikutuk jadi batu atau apa. Malah aku sangat berterima kasih karena Papi dan Mami tidak seperti paman dan bibiku yang lain yang sedikit terlalu keras di sana-sini, atau terlampau longgar sehingga mereka bakal kecolongan dan berakhir menyaksikanku tumbuh menjadi bukti hidup dari kasus-kasus tanpa harapan.
Kegemaranku menggambar saat itu rupanya menjelaskan kepribadian introvertku bertahun-tahun kemudian. Puraseda memiliki alam yang hebat, walau anak-anak perundung, tekanan dan ketegangan sosialnya yang samar namun melumpuhkan, membuatku mudah menyimpulkan bahwa tempat ini bukanlah tempat yang ideal apalagi sempurna. Sejauh yang kuingat, waktu itu aku anak yang ramah dan sopan, aku belum tahu caranya menarik diri dari masyarakat. Walau beberapa Tahun kemudian ketika aku tinggal di Pulau yang berbeda, lambat laun Aku merasa keramah-tamahanku berkurang. Bukannya hal itu buruk atau bagaimana, hanya saja lebih sering diartikan dengan cara yang salah oleh anggota masyarakat atau keluargaku yang masih tinggal di kampung halaman. Dalam tatanan masyarakat komunal kami, menjadi introvert adalah aib dan dosa besar.
Boleh saja itu tragedi, tapi diam-diam aku menikmatinya. Menikmati bahwa ternyata aku punya pilihan untuk tidak selalu terbuka pada dunia luar dan orang-orangnya. Entah itu menyembunyikan diriku separuhnya, atau secara utuh. Tetap saja aku tidak pernah tergoda untuk menjadi orang jahat dalam standar hukum dan norma yang berlaku. Aku hanya memilih untuk tidak hidup seperti orang kebanyakan. Karena itu membuatku jauh lebih baik. Aku tidak butuh untuk selalu berpura-pura membutuhkan mereka, melakukan pembuktian, kontribusi yang syarat akan politik kepentingan dan memiliki hasrat untuk terlibat. Nyatanya aku baik-baik saja, dan justru jauh lebih merdeka menjadi diriku sendiri. Aku bisa berbuat salah dan belajar, dan mengulanginya dari awal. Sebuah pemahaman sekaligus praktik yang asing dan tidak dianut keluarga besarku, dan masyarakat tempat aku dibesarkan.
*
Kembali ke tepi sungai, pada hari-hari hujan biasanya kami bakal berkumpul di teras letter-L rumah nenekku yang nyaman dan berbentuk seperti panggung mungil.
Hal tersebut disengaja karena seingatku, banjir terakhir karena luapan Sungai Puraseda nyaris menyentuh lantai rumah itu pada penghujung tahun 1993. Luapan air yang begitu melimpah menenggelamkan batu-batu besar yang kukenal dan sering kupanjat kalau sedang menemani Papi menjala ikan—ini adalah favoritku dan Anin—Begitu juga undakan tangga batu yang menurun ke sungai, separo batang-batang pohon kelapa yang melimpah, pohon melinjo, dan dapur rumah bibiku yang sedikit terendam.