Barangkali aku terlambat menyadari, bahwa versi-terbaik-diri-kita bukanlah sesuatu yang kita miliki sealami bayangan kita sendiri. Versi-terbaik-diri-kita boleh jadi gagasan semu yang muncul karena sebab-sebab yang seringkali tidak direncanakan.
Kadang-kadang ia muncul setelah kita kelelahan dengan pencarian terhadapnya. Kadang ia muncul bersamaan dengan cara kita merespon sesuatu. Situasi yang kita alami. Dengan cara-cara yang nyaris spontan.
Dalam kasusku sebagai penulis, atau apapun yang kukuasai untuk bertahan hidup, versi-versi terbaik itu hadir sebagian besar tanpa proses perencanaan sama sekali. Ia tumbuh di dalam diriku, dan muncul sewajarnya seperti ekstrak diriku. Yang terkadang membutuhkan waktu dan energi yang jauh lebih besar ketimbang menjadi diriku yang biasanya, yang sehari-hari kutemui balas menatapku di permukaan cermin: bodoh, impulsif, dan dangkal.
Sejak Aku mengetahui fakta paling mendasar tersebut, Aku berhenti berusaha terlalu keras menanti kehadirannya. Aku sudah berada di level yang berbeda dalam kehidupan kreatif-ku yang tertutup dan penuh penolakan. Aku tidak senaif diriku lima atau sepuluh tahun yang lalu. Baru belakangan ini aku sadar bahwa aku memang tidak bisa sepanjang-waktu menjadi versi terbaik diriku sendiri.
*
Saat aku bertengkar dengan Anin waktu itu, aku tidak punya pemahaman konseptual yang menyeluruh mengenai diriku sendiri. Hanya saja setelah perbuatan gegabahku tempo hari, yang memang tidak bisa ditarik kembali, aku dilanda rasa sesal yang hebat.
Dalam hingar-bingar suasana pesta pernikahan salah satu sepupu tertua kami, aku merasakan jeda yang begitu hening dan mematikan tiap kali tanpa sengaja berpapasan dengan kakak sulungku saat berjalan ke stan limun dan meminta orang dewasa menuangkan minuman berwarna itu ke gelasku yang berembun. Atau kalau saat aku harus menghampiri ibuku di dapur yang dijejali para wanita bergosip; asap-asap kayu bakar yang asam dan harum dari tungku-tungku tanah liat; serta aroma rempah-rempah yang menyengat dari kuali-kuali raksasa berisi gulai dan penganan bersantan yang tengah diaduk.
Mami tengah menekuri Anin yang duduk di ujung kursi rotan, yang seketika berpaling dan memunggungiku saat ia sadar aku memasuki ruangan.
Sejujurnya aku bisa saja mengabaikannya sepanjang waktu, karena aku bisa dengan mudahnya berbaur dengan para sepupu. Bahkan saat paman-paman kami mengusir kami dari tenda-tenda biru yang dibentangkan mengitari halaman—karena gerombolan tamu datang secara bersamaan dan berebut kursi-kursi plastik untuk menyantap hidangan dari prasmanan—aku bisa turun ke sungai atau bergelayutan di pohon jambu yang menjorok ke tepian berpasir.
Tetapi bahkan seandainya kami berhasil menyelinap lebih jauh dan diam-diam ngebak di bagian sungai yang tak terlihat dari halaman nenekku, anehnya sesuatu di dalam diriku menolak untuk benar-benar melebur dalam kegembiraan apapun, karena aku dan kakakku memang sedang tidak baik-baik saja.
Seandainya saja ada yang cukup bijak memberiku pemahaman, karena ngomong-ngomong ayah dan ibuku saat itu tengah melibatkan diri sepenuhnya di perhelatan tersebut, bahwa aku hanya sedang berada dalam situasi dimana desakan untuk meminta maaf terlalu kuat untuk kutolak dan kuabaikan. Yang pada akhirnya melumpuhkanku karena bahkan sebelum aku mencoba, aku sudah tahu bagaimana semua itu akan terjadi.
Jangan bilang aku belum pernah mencoba dengan berbagai cara. Misalnya saat anak-anak dan sepupu-sepupuku yang sudah SMP dan SMA diminta untuk mendekorasi panggung organ tunggal, aku diam-diam mendekati Anin dan pura-pura batuk di dekatnya. Sebelum aku mampu mengucapkan kata pertama, dia sudah ngeloyor ke tempat lain dan meminta sepupuku menggantikannya menjalin tali-tali rapia. Ketika aku membentangkan kertas-kertas manila sebelum merekatkannya satu sama lain untuk ditempelkan di tepian panggung, Anin meminta sepupuku yang kebetulan tidak mendengar, untuk mengambilkannya gunting. Aku melihat kesempatan itu untuk menjembatani usaha merukunkan kami, alih-alih mengucapkan terima kasih dan mengajakku bercakap-cakap, Anin meraih gunting dari tanganku dengan kasar nyaris tanpa melihatku sama sekali.
Ketika secara kebetulan aku benar-benar menemukan kesempatan kami hanya berdua saja di panggung berlantai papan sederhana yang ditopang empat drum minyak dan batang-batang pohon kelapa itu, aku tidak menyia-nyiakannya.
“Mau sampai kapan kau mengabaikanku?!” Suaraku sesak karena putus asa dan jengkel.
Anin masih menggunting kertas kerlap-kerlip menjadi bintang-bintang dan bulan sabit. Tanpa menoleh, dia bereaksi dengan nada yang dingin-menusuk.
“Jangan harap kita bisa berbaikan lagi seperti dulu!”
Aku menelan ludah.
“Kau sudah terlalu besar untuk memelihara kebencian seperti itu pada adik laki-lakimu sendiri, tahu!”
Aku berhasil memprovokasinya. Ia membanting guntingnya, melotot galak padaku. “Kau sudah cukup besar untuk menyadari hal itu salah bahkan sebelum kau melakukannya!”
“Aku hanya ingin mendengarkan musik dari walkman-mu lebih lama dari biasanya. Kau tidak seharusnya sepelit itu padaku, kan?”
“Oh, jadi sekarang semua salahku, ya? Hebat sekali!”
“Bukan, bukan! Aku benar-benar menyesal, kok. Aku minta maaf, Anin!”