Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #7

Kebakaran Misterius

Aku telah menulis bagian sebelumnya, aku tidak yakin bisa mengulanginya dengan cara yang sama. Namun aku yakin kali ini aku bisa melakukannya dengan derajat kejujuran yang jauh lebih gamblang.

Mami, ibuku, dinikahi ayahku ketika usianya menginjak delapan belas tahun. Pada masa itu, para orang-tua harus menanggung malu tak terkira seumpama masih memelihara anak gadis berusia di atas 15 tahun di rumah mereka. Menginjak usia 17 hingga 18 tahun, gadis-gadis kampung yang tak bersekolah lazim dicap perawan tua.

Kisah-kisah pertemuan ibu dan ayahku tidak pernah kudengar secara utuh dalam urutan kronologis sebenarnya. Kisah-kisah itu muncul dalam babak-babak mungil yang menyerupai selipan-selipan sambil lalu ketika kami menggosipkan hal lain yang kebetulan saling berkaitan. Kisah cinta dan pernikahan ibuku hadir dalam episode-episode yang diceritakan dengan hangat, historis, namun tidak jarang dikenang dengan cara-cara yang begitu pedih dan menyakitkan. Kedua perasaan itu, anehnya diwariskan dengan sukses padaku melalui cerita-cerita yang dikumandangkan ibuku.

Dahulu kala, sejak aku bisa mengingat hingga menginjak usia yang cukup untuk mencerna pandangan-pandangan orang tuaku terhadap kerabat kami dari kedua belah pihak, aku yakin reaksiku cenderung netral dan naif terhadap mereka. Begitu juga pada hubungan timbal-balik yang menghubungkan keluarga besarku dengan ayah dan Ibu kami.

Namun saat aku kebetulan ada di rumah Nenek tanpa Mami dan Papi, Aku bakal langsung menyadari perbedaan mencolok dalam cara nenek memperlakukan kami. Pada cucu-cucu kesayangannya (ketika Aku sudah kebal secara emosional, tanpa bisa kucegah aku mulai mengkategorikan para sepupu dengan cara ini) Nenekku cenderung menunjukkan perhatian dan kasih sayang yang begitu berlebihan. Pada awalnya halnya ini cukup menyakitkan, namun saat aku sedikit lebih besar, pemandangan ini membuatku mual!

Sebaliknya, padaku dan beberapa sepupu lain yang kebetulan bernasib sama denganku, Nenek acuh-tak-acuh. Di beberapa kesempatan saat kami mampir untuk berteduh, minta minum & makan setelah seharian bermain, Bibiku yang kebetulan tinggal di rumah itu juga, bakal lebih sering meladeni kami. Terkadang aku merasa nenek hanya sedang berpura-pura tak menyadari kehadiran kami dan mengunci dirinya di dalam kamar, atau kalaupun kebetulan sedang terlihat lalu-lalang di dapur dan teras letter-L itu, Nenek bakal mengabaikan kami.

Buatku, pada tahun-tahun tersebut, sikapnya bukanlah masalah yang perlu dibesar-besarkan. Aku toh terlalu tolol untuk bertanya-tanya apa penyebabnya. Karena adatnya memang kumat-kumatan. Pada hari-hari baik, dia bakal memanggilku dengan wajah berseri-seri, mengulurkan tangannya supaya aku menciumnya, dan memperlakukanku sebagaimana ia memperlakukan cucu-cucu favoritnya. Alih-alih menyenangkan hatiku, hal ini justru membuatku tidak nyaman. Akan ada kecanggungan yang luar biasa, sifat tidak alami dalam hubungan kami yang membuatku ingin segera melarikan diri.

Namun hal tersebut biasanya hanya terjadi kalau kebetulan ada tamu-tamu penting yang datang ke Lebak—kata yang selalu kami gunakan untuk menyebut rumah Nenek, mengacu pada letaknya yang berada di batas paling bawah perkampungan, tepat di bibir Sungai Puraseda—saat kebetulan kami juga berada di sana, atau pada saat-saat langka ketika entah bagaimana Nenekku tiba-tiba sadar bahwa dalam tubuhku juga mengalir darah yang sama dengan darah yang mengalir di tubuhnya. Tapi Aku tidak mau mendadak menjadi sedramatis itu. Karena aku telah terbiasa diabaikan atau diperlakukan dengan sengit (setidaknya begitu yang kupahami saat itu), dalam setiap kesempatan langka tersebut entah bagaimana aku selalu mencium ketidak-tulusan dalam cara-cara nenekku memperlihatkan kasih sayangnya padaku. Kepekaan tidak penting yang sialnya kurawat dan kupupuk hingga aku dewasa yang pada akhirnya seringkali merepotkanku dalam urusan-urusan yang melibatkan perasaan. Tolol bukan!


Mami selalu bilang, keluarganya sudah mewanti-wanti hal ini dalam sikap diam dan kegelisahan mereka menjelang hari pernikahan ibuku. Papi, ayahku berasal dari keluarga ulama NU terpandang di Puraseda. Salah satu keluarga yang konon secara ekonomi pernah berjaya puluhan tahun lalu, ketika Kakekku dari pihak ayah menjalankan penggilingan karet yang sukses besar dan melimpahi mereka dengan kemakmuran yang langka pada masa-masa itu, sebelum semuanya luluh lantah ketika kompeni membakar rumah kakekku karena pengaruhnya yang kuat sebagai ulama—yang dianggap ‘membahayakan’ terciptanya keseimbangan hubungan kompeni dan pribumi di wilayah tersebut.

Sedangkan Mami, ibuku, hanya putri seorang petani miskin yang lahir dan dibesarkan di sebuah lembah yang dingin, yang berada di bawah tatapan hutan-hutan dan perkebunan cengkih yang bukan milik siapapun kecuali orang-orang asing dari kota besar. Kendati masih memiliki hubungan kekerabatan yang erat dengan seorang pria ‘pintar’ beruptasi baik-baik yang saat itu sering didatangi Jenderal-jenderal Besar berseragam dan bermobil mengkilap dari Jakarta yang konon mendatanginya untuk meminta pengasihan, namun reputasi tersebut sama sekali tidak berarti (dan tidak pula dibanggakan ibuku) bagi keluarga besar Ibuku yang taat beragama.

Sikap penolakkan itu sudah mulai tercium saat Ibuku, pengantin baru yang lugu, sedih, ketakutan, dan nyaris tak mengenal pria yang baru dinikahinya sedikitpun—Mami menikahi Papi karena semacam proses perjodohan yang diatur Papi dan kakekku dari pihak Mami—saat pertamakali ia menanggalkan nama gadisnya dan memasuki rumah mertuanya di sebuah lingkungan yang bertahun-tahun lalu ia sebut lingkungan ‘Orang-orang Elit’ saat pulang-pergi sekolah tanpa alas kaki, sebuah penilaian yang sebenarnya agak terasa berlebihan. Namun bisa dimaklumi terutama ketika datang dari anak perempuan kerempeng yang kurang makan, dan harus berbagi selimut dengan ketiga saudara-saudaranya yang lain yang tidur di ruangan yang sama, tanpa kasur dan matras alih-alih beralaskan tikar pandan, yang pada siang hari difungsikan sebagai tempat duduk dan makan, karena ruang tersebut memang bersatu dengan dapur.

Pada penghujung dekade 80’an, karena terlilit kemelaratan tak berujung, keluarga besar Ibuku harus mengucapkan selamat tinggal pada rumah bilik bambu beratap rumbia, saat Papi mendaftarkan kakekku sekeluarga dalam program Transmigrasi yang kala itu sedang gencar-gencarnya dikampanyekan rezim Soeharto.

Lihat selengkapnya