Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #8

Transportasi Para Arwah

Aku pergi bersekolah ke tempat yang sama seperti para sepupu. Sekolah Dasar Negeri yang berada tepat di seberang sungai rumah nenekku.

Sebuah bangunan letter-u dengan cat dinding mengelupas yang seingatku tidak pernah dicat ulang hingga aku lulus kelas 6. Lapangannya yang bersemen bocel-bocel, dipunggungi oleh tembok belakang kantor Balai Desa Puraseda.

Bangunan kantor gurunya menyatu dengan deretan kelas-kelas di sayap barat. Suram dan berbau apak, dengan kursi-kursi kecokelatan dan lemari-lemari kayu berdebu tempat arsip-arsip tersimpan. Lantainya dilapisi ubin PC yang menguarkan aroma dingin dan murah, ruangan itu bagiku selalu berkesan penting dan menakutkan. Karena jenis panggilan apapun yang mengharuskan kami masuk ke dalam kantor guru selalu berarti tiga hal: kau penting dan berprestasi, kau punya kabar buruk, atau kau bermasalah!

Dinding-dinding kelas di sepanjang selasar di cat putih menyilaukan, terutama pada siang hari ketika matahari tepat di atas ubun-ubun. Tiang-tiangnya terbuat dari pipa-pipa besi yang bertabur karat di sana-sini, dengan satu bagian terlihat jauh lebih mengkilat seperti hasil ampalasan, karena terlalu sering dipelintir genggaman berkeringat murid-murid perempuan di jam-jam istirahat. Berputar-putar sambil saling cekikikan.

Sementara di sayap Timur yang dibangun dengan selasar jauh lebih tinggi, berjajar dari utara ke Selatan adalah kelas dua, kelas satu, gudang, dan sebuah bangunan yang seharusnya menjadi ruangan perpustakaan, selalu berada dalam keadaan terkunci dengan lemari-lemari mencurigakan yang selalu dilapisi bentangan plastik transparan.

Meskipun saat itu aku bahkan belum tahu kalau aku suka membaca, tapi buku-buku selalu membuatku bergairah. Barangkali karena di rumah, Ayah dan Anin menularkan kegemaran tersebut secara subtil dengan menaruh buku-buku, novel (yang sebagian besar pinjaman) majalah, terkadang berjilid-jilid komik, dan tumpukan surat kabar Kompas dan Radar Bogor diberbagai tempat. Aku masih ingat, saat itu aku bahkan sudah berpikir rasanya konyol sekali sebuah sekolah tidak memiliki perpustakan. Jangan salah karena SD-ku cukup keren untuk sebuah sekolah dasar yang berdiri di perkampungan, namun tetap saja bagian tersebut cukup mengecewakan tak peduli apakah aku bakal sering meminjam buku atau tidak.

Sementara berdiri di bangunan terpisah, menghadap tepat ke lapangan upacara yang dilapisi semen tipis, adalah rumah Jatah guru yang didiami salah seorang guru perempuan. Putri guru itu kebetulan teman sekelas kami. Namanya Saskia, kulitnya putih dan tampak lembut, rambutnya lurus dengan poni yang hampir menyentuh pangkal hidungnya, yang sesekali ia tiup saat sedang menulis serius di tengah-tengah jam pelajaran. Aku, sepupuku Nopal dan Faris, sama-sama naksir padanya.

Ada yang menarik dari caranya berbicara, atau ledakan tawanya yang renyah, dan terutama entah bagaimana ia selalu berbau harum. Tidak seperti cewek-cewek kampung teman sekelas kami yang lain, yang cerewet, kasar, dan beraroma seperti kami: bau matahari menyengat atau beraroma kamper lemari baju.

Tapi sayangnya ketika kami menginjak kelas 5 atau 6, keluarga Saskia tidak lagi menempati rumah tersebut dan pindah ke kota.

Aku ingat, kami bertiga mampir ke rumahnya sore-sore setelah komplek sekolah kosong untuk mengucapkan salamn perpisahan. Keluarganya tengah mengepak barang, kami menemuinya di halaman belakang. 

“Kalian bertiga… baik sekali mau menemuiku.” Katanya lesu.

Aku mengangguk. Nopal lantas menimpali, “Apa kami bisa meneleponmu kapan-kapan?”

Bola matanya bergerak penuh arti. “Aku nggak tahu bakal punya telpon rumah atau nggak. Tapi, tunggu sebentar… ” Ia melesat masuk ke dalam rumah.

Rok putih di bawah lututnya berkibar dengan anggun. Ia mengenakan kaos oblong bersablon pudar logo band barat, kemungkinan milik abangnya, yang juga kakak kelas kami. 

Ia kembali dengan buku hariannya yang bersampul tebal berwarna toska, sebuah pulpen bertinta neon. Menyodorkannya pada kami bertiga.

“Beri aku nomor tel’pon kalian.”

Hanya Nopal yang memiliki telepon rumah.

Di buku yang sama, sambil berjongkok dan bersandar ke tembok rumahnya, kami bergantian menuliskan kesan dan pesan-pesan perpisahan. Sebagaimana yang dimintanya.

Besok paginya, kami bertiga merasa seisi kelas jauh lebih sunyi dari biasanya. Rumah di tengah-tengah lapangan itu sunyi tanpa penghuni.

Pada jam istirahat aku mencorongkan kedua mataku di kaca jendelanya yang transparan. Tampak jejak-jejak sofa, meja kopi, atau figura-figura yang pernah menempel di dindingnya selama bertahun-tahun.

Ketika melongok ke halaman belakang, aku ingat kejadian sehari sebelumnya yang kukenang dengan tersipu-sipu namun nelangsa pada saat yang sama.

“Dinar,” Katanya setelah aku menjabat tangannya dan pamit pulang. Nopal dan Faris sudah berbelok menyeberangi halaman sekolah dan tak lagi terlihat.

“Ya?” Aku berhenti dan berbalik kembali.

“Semoga kita Bertemu lagi, kalau-kalau kau melanjutkan sekolah di kota.”

Lihat selengkapnya