Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #9

Pohon Bungur dan Air Terjun

Anin sudah pulang ke rumah. Tapi hubungan kami belum membaik.

Karena kami masih perang dingin, kadang-kadang aku tidur di tengah rumah menyeret kasur kapuk cadangan. Kalau petir menyambar-nyambar tengah malam, kilatnya mengepungku saat terpantul di dinding rumah kami yang sempit, maka aku bakal menyelinap ke kamar kami berdua, dan tidur saling beradu punggung.

Anin anehnya tidak pernah mengunci kamarnya di malam hari. Mungkin ia membiarkannya kalau-kalau aku yang pengecut ini tiba-tiba memutuskan untuk tidur di kamar lantaran tak kuasa menghadapi hening dan gelapnya ruang tengah yang terasa asing dalam gelap. 

Setiap hari, aku terpaksa harus mengerjaan PR-ku seorang diri. Sebenarnya situasi ini memberi dampak positif bagiku. Perlahan-lahan, Aku mulai mengurangi ketergantunganku pada Kakakku. Kadang-kadang, kalaupun aku harus dimaki-maki guru kelasku lantaran jawaban PR-ku kebanyakan salah, anehnya aku merasa puas lantaran Aku bisa mengerjakannya sendiri. Dan aku tahu dibagian mana kekeliruanku supaya kuperbaiki lain waktu.

Masalahnya, di Sekolah Sore, aku kurang becus merapal huru-huruf hijaiyah. Saat itu kurasa aku bahkan belum khatam Iqro 5, ketika para sepupuku telah menyombongkan diri karena tiap kali mengaji mereka sudah menenteng Buku Juz Amma.

Kuakui aku memang terlambat dalam banyak hal. Walaupun sering kali itu tidak jadi masalah besar lantaran aku bukan orang yang terlalu kompetitif.

Justru aku berusaha merasa nyaman menjadi diriku apa adanya, lantaran masyarakat lebih dulu menemukan ‘kelemahan-kelemahan’-ku. Dan menghukumku di luar pengawasan kedua orang tuaku. Misalnya mengataiku lemah, pecundang, atau cacat, lantaran aku tidak memenuhi kriteria anak laki-laki idaman yang secara fisik atletis. Atau lantaran aku tidak gemar bermain bola, terjaga larut malam menonton menonton Liga Eropa, bermain gim konsol, atau hal-hal lainnya yang orang pikir harus dilakukan anak laki-laki seusiaku.

Nah, di Sekolah Sore sendiri aku kerap tidak berusaha terlalu keras. Karena itu aku jauh tertinggal dari teman-temanku yang lain. Terutama dalam mengerjakan latihan menyambung huruf-huruf hijaiyah yang menguras energi, dengan pinsil yang diraut khusus menggunakan silet atau pisau lipat agar ujungnya pipih, yang kemudian harus digunakan dengan keterampilan tertentu.

Tapi tiap kali Aku harus mengafal doa atau ayat-ayat, Anin bakal membantuku. Menyalin bunyi ayat atau doa-doa itu dalam bahasa latin di secarik Kertas, supaya aku bisa membawanya kemana-mana untuk dihafal.

Doa yang seingatku paling susah kuhafalkan, adalah doa paling fundamental dalam rutinitas Harian seorang muslim. Yaitu doa sebelum tidur. Lantaran aku harus mempelajarinya sedini mungkin, aku memaksa Anin untuk alih-alih mengajariku melafalkan artinya saja dalam bahasa indonesia.

Malam itu, di tengah-tengah perang dingin antara kami berdua, angin benar-benar bertiup sangat kencang. Dahan-dahan belimbing menggesek atap genting, pohon jambu Bangkok yang menaungi sumur rumah kami, berputar dan meliuk seperti penari balet yang kedua ujung kakinya terpaku di permukaan panggung namun pada saat yang sama ia harus tetap menarikan sebuah koreo akrobatik.

Pohon jambu itu juga dililit sulur bugenvil yang subur, dengan pangkal batang sebesar betisku, dan cabang-cabang yang merambat liar dengan duri-duri mungilnya yang Kadang menggores kulit kami kalau sedang memanjat untuk memetik buah-buah jambu yang matang berwarna hijau kekuningan. Bugenvil itu, berbunga lebat dengan warna magenta atau pink cerah. Tergantung sudah setua apa bunganya mekar.

Malam itu, di balik kaca nako jendela rumah kami yang tidak bergorden, bunga-bunganya rontok seperti darah yang berguguran. Magis dan mengerikan.

“Anin?” Aku mencicit. “Sudah tidur belum?”

Keheninganlah yang menjawabku.

Hingga kemudian suara selimut jariknya berderak.

“Kau takut ya?” Katanya ramah.

Aku mengangguk.

“Sini.” Ia menarikku berbalik. Kami berbaring saling berhadap-hadapan.

“Mau berdoa sama-sama?”

“Iya, tapi jangan bahasa arab, ya.”

Dalam gelap, aku bisa melihat anggukannya. Binar kedua matanya tampak akrab. Binar yang sudah berminggu-minggu ini kurindukan.

“Ikutin, ya.”

Ia melanjutkan tanpa menunggu persetujuanku.

Sejak malam itu, kurasa kami mulai berdamai satu-sama lain. Aku tahu ia tahu Aku sangat menyesal. Aku tahu ia juga merindukanku.

Kami merapal doa selirih bisikan.

Lihat selengkapnya