Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #10

Dunia Belum Kiamat

Esok harinya, aku tidak berangkat ke sekolah. Di malam hari aku berdoa supaya aku demam atau apa, tapi saat bangun tidur badanku hangat betulan.

Jam 8 pagi setelah menghabiskan sarapan pagi bubur ayam encer yang dimasak ibuku, ayah memboncengku dengan sepeda motor dinasnya ke puskesmas.

Dokter meletakkan stetoskopnya yang sedingin es di dada kiriku. Aku menatapnya dengan kedua mataku yang layu, bertanya-tanya, mungkinkah ia bisa memahami rasa sakitku disana. Karena aku telah menyakiti hati sahabat baikku sendiri?

Mungkin tidak. Ia meresepkanku puyer dan tablet vitamin warna kuning sepahit empedu. Yang kemudian kuanggap sebagai respon kurang baik yang sangat tidak pengertian.

Sepanjang hari itu aku berpikir, bagaimana aku harus menghadapi keduanya besok di sekolah?

Aku benci ketika orang-orang favorit dalam hidupku justru memusuhiku.

Kuharap dunia segera Kiamat.


*

Jadi, hal yang diam-diam kusesalkan ketika kembali mempelajari ulang agama yang kuanut di usia tertentu bertahun-tahun kemudian, adalah kekakuan guru-guru ngaji kampung yang membutakan kami dari kompleksitas beragama kecuali kontras yang begitu tegas mengenai surga dan neraka.

Maka kami dibutakan oleh rasa takut itu. Hingga kami luput mempelajari betapa indah dan luwesnya ajaran agama kami yang sesungguhnya. Terutama dalam mengatur ahlak dan adab dalam tiap fase hidup dan konteks yang berbeda-beda. Bagaimana hal tersebut jauh lebih esensial dalam tumbuh kembang kami kelak. Sama besar dengan kepekaan kami dalam menaksir moral kompas kami dengan jernih. Tanpa prasangka, tanpa keangkuhan, apalagi termakan konsep hak istimewa yang semu.

Ketimbang rasa takut kami pada siksa neraka, atau murungnya akhir zaman dan hari kiamat, yang lebih lantang diajarkan dalam ceramah-ceramah yang menggebu-gebu ketimbang misalnya, cara kami bersikap pada teman dan Tetangga kami yang memiliki keyakinan berbeda. Atau integritas semacam apa yang harus kami pegang teguh sebagai pemeluk agama mayoritas.

Di titik itu, aku menyesal karena telah begitu picik pada sahabatku Leo. Aku menyesal bahwa Aku merasa jauh lebih tahu nasib ayahnya di seberang sana. 

Lagipula, sebagaimana yang dibisikkan Sigi beberapa hari kemudian ketika mengampiriku di tepi lapangan sekolah, pintu-pintu neraka belum akan dibuka hingga hari Kiamat tiba.

Dengan segera aku menyadari betapa tololnya diriku.

Ia kembali menghampiri Leo, yang mengabaikanku sepanjang hari. Ia melirik sekilas ke arahku dengan tatapan beku, mungkin untuk memastikan perban di siku kiriku gara-gara ia mendorongku terlalu keras waktu itu. Atau untuk memberikan peringatan bahwa aku tiba bisa melangkah lebih dekat dari posisiku saat itu.

Seluruh situasi ini benar-benar menyakitkan. Walaupun di umur 13 tahun, aku belum memiliki keterbukaan untuk memproses dan mengutarakannya. Bahkan pada diriku sendiri.

Di rumah, Anin yang menyadari sikapku yang tak biasa, akhirnya berhasil membujukku bercerita di bawah lingkar bayang pohon belimbing.

“Dunia belum kiamat.” Katanya “Nanti juga kalian baikan lagi.”

Aku mengangkat bahu. 

“Dunia belum kiamat.” Gumamku.


*

Apa yang dilakukan Genghis Khan, Alexander the Great, atau George Walker Bush memberi kita gambaran gamblang dari masa ke masa bahwa pria adalah mahluk yang Sangat teritorial. Anak laki-laki tidak jauh berbeda. Kami mengklaim dan menandai wilayah kami masing-masing.

Waktu itu, tentu saja adalah sungai kami, Sungai Puraseda. Ada beberapa Leuwi atau daerah yang tidak boleh dijamah atau dijelajahi kalau bukan anak-anak dari wilayah itu. Leuwi sendiri adalah bagian-bagian sungai berair dalam yang seringkali memiliki pusaran air dan kerap memerangkap anak-anak yang baru belajar berenang.

Leuwi Bolang merupakan teritori anak laki-laki Kampung Gudang, sementara bagian sungai di atasnya adalah bagian-bagian yang masuk ke dalam teritori Kampung Kaum. Klaim ini mungkin hanya populer di kalangan anak-anak laki-laki di bawah 15 tahun. Anak-anak yang lebih besar cenderung menghabiskan waktu mereka nongkrong di kamar-kamar satu sama lain, main gitar, dan sudah jarang menghabiskan waktu di tepi sungai kecuali untuk mencuci motor atau buang hajat.

Suatu waktu di tengah-tengah perselisihan kami, Aku pulang dari Sekolah Sore meniti pematang sungai yang kebetulan melintasi kawasan yang dekat sekali dengan Leuwi Bolang. Ada beberapa anak kulihat di ujung jalan setapak, tepat sebelum pendakian ke jalan aspal di seberang Warung Grosir Pak Haji Umar.

Melalui sudut mataku, aku mengenali salah seorang di antaranya. Leo sedang kongko dengan anak-anak yang lebih besar, tertawa cekikian dengan suara lantang dan seloroh berlebihan yang diwarnai aksi saling dorong. Beberapa di antara mereka kakak kelasku, beberapa sudah SMP, dan sebagian besar dari mereka saling mengoper sebatang kretek yang menyala.

Lihat selengkapnya