Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #11

Penyusup

Kuakui minat dan ketertarikan kami yang bertolak belakang selama ini kerap menjadi penyebab pertengkaran-pertengkaran kami. Terutama kalau aku sudah merajuk lantaran Anin tidak mau membantuku mengerjakan PR matematika yang sulit.

Namun hal ini secara brutal juga dipertegas oleh posisi ayahku di lingkungan itu. Waktu itu kami masih tinggal di sebuah dusun di Desa Purasari, rumah pertama yang benar-benar dibeli ayahku dengan jerih payahnya.

Konon puluhan tahun yang lalu, tempat itu, yang memang tidak bisa kusebutkan secara gamblang disini, adalah dataran di kaki Bukit yang menjadi tempat persembunyian bagi buronan Partai Terlarang.

Awalnya hanya satu atau dua keluarga kakak-beradik, namun kemudian dusun ini semakin padat ketika perkawinan demi perkawinan berlangsung. Paling tidak, kala itu, ada sekitar lima puluh Kepala Keluarga. Namun tidak lagi bisa dipastikan leluhur siapa-siapa saja yang memang buronan atau tertuduh eks anggota Partai Merah itu. 

Terlepas dari akurasinya yang dipertanyakan, namun ada satu keluarga yang kerap menjadi momok bagi lingkungan itu. Putra-putranya terkenal karena kebengisan dan keterlibatannya dalam aksi-aksi kejahatan. Ditandai Polisi di kecamatan. Keluar masuk bui beberapa kali dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir. Secara de facto, keluarga itulah yang memimpin atau menguasai dusun itu.

Karenanya, ketika keluarga kami pindah, dan ayahku seketika ditunjuk sebagai ketua RT atas Musyawarah yang adil lantaran dianggap paling bijak dan paling berpendidikan, keluarga itu merasakan hadirnya ancaman baru.

Baik Mami maupun Papi, mengalami intimidasi-intimidasi halus yang tidak pernah benar-benar diceritakan pada kami terang-terangan. Pertama, karena orang tuaku tidak mau kami ketakutan sepanjang waktu. Ketiga, rasa takut akan mengorbankan kedamaian dan kebebasan menjelajah khas anak-anak yang kami miliki. Papi bahkan mungkin tidak pernah menceritakan hal ini pada saudara-saudara kandungnya di Puraseda.

Hingga malam itu terjadi. Dan merubah segalanya.


*

Aku tengah membolak-balik buku paket sejarah Anin. Berhenti di halaman-halaman yang menarik perhatianku, melewatkan sisanya yang membosankan dan hanya berisi tulisan-tulisan panjang.

Aku berhenti di gambar Prasasti Batu tulis, lalu nyaris tak berkedip mentap gambar monkrom Prasasti Ciaruteun. Aku terheran-heran teknologi seperti apa yang sudah dicapai peradaban Sunda pada masa itu. Namun di atas batu itu, selain kalimat beraksara Pallawa, ada sepasang jejak kaki Raja Purnawarman, seorang raja kuno Kerajaan Tarumanegara. 

Bagaimana kakinya bisa tercetak sedemikian sempurna di atas batu itu? Seolah-olah batu alam seberat delapan ton itu terbuat dari clay atau tanah liat.

Aku menanyakan ini pada Anin yang sedang sibuk dengan ritual malamnya yang menjenuhkan: milk cleanser dan face tonic murah yang beraroma alkohol segar dengan sedikit nuansa mentimun. Kombinasi aneh yang mungkin hanya bisa diapresiasi remaja-remaja yang tumbuh di penghujung 90an. 

“Pasti dipahat. Tidak mungkin kerajaan di masa itu tidak punya pemahat ulung.” Katanya sambil menyobek kapas baru. “Kan tidak mungkin mereka bikin itu sehari semalam saja.”

“Seriusan?” Kataku sengit. “Jadi kau tidak terbuka untuk teori-teori lain yang lebih canggih. Dasar membosankan.”

Anin melayangkan bantalnya ke kepalaku.

“Jadi kau mau aku bilang apa?”

“Sudahlah, Anin. Padahal ini bukumu. Aneh saja kau tidak jauh lebih tertarik daripada aku.”

“Kau sudah cuci kaki belum?” Aku mendengarnya menuangkan face tonic ke kapas baru. “Awas saja kau langsung naik ke tempat tidur sebelum mencuci kakimu.”

Mami menyuruh kami akur, lantaran kami sudah bikin kesepakatan untuk tidak membuat bertengkar atau menyimpan dendam sesaat sebelum tidur dan sesaat setelah bangun di pagi hari. Waktu-waktu itu adalah saat-saat yang terlarang untuk energi-energi negatif yang tidak perlu. Lantaran bakal mengurangi kualitas tidur dan mengganggu kedamaian pribadiku seharian penuh.

Setelah mematikan lampu, kami menarik selimut masing-masing dan tidur saling beradu punggung.

Waktu itu, sebenarnya aku sudah membangkit pada Papi untuk membelikanku ranjang sendiri. Aku sudah puber dan kupikir Aku butuh privasi yang lebih leluasa. Sebelum ia mampu membangun kamar tidur tambahan untukku, atau paling tidak memisahkanku dari kakakku sendiri.

Di rumah ini aku nyaris kesulitan untuk memiliki saat-saat pribadi. Ketika aku sadar aku sudah tidak bisa lagi telanjang di depan seluruh anggota keluargaku. Terutama ketika aku sudah berhenti berjinjit di jendela karena tubuhku semakin jangkung, begitu juga rambut-rambut di lipatan tubuhku mulai bermunculan.

Aku lupa sebelumnya apakah aku sudah berdoa apa belum, namun sekitar dini hari, mendadak aku terbangun karena sebuah tekanan di tubuhku.

Saat itu lampu masih dimatikan, ketika aku membuka mata hal pertama yang kulihat adalah dua pasang mata yang berkilau tajam memantulkan cahaya bulan Purnama kebiruan dari Jendela kamar tidur kami yang sudah terbuka lebar.

Apakah aku bermimpi buruk? Tapi kenapa mimpiku terasa begitu nyata?

Aku bahkan bisa mendengar deru napas yang berat orang itu, dan bagian gelap di sarungnya tempat dimana mulutnya berada. Sarung itu diselubungkan dengan cara yang sama seperti saat aku dan kawan-kawanku bermain ninja-nijaan di langgar ketika menunggu giliran mengaji di hadapan guru kami.

Ketika aku berusaha berteriak, suaraku tertahan dengan cara yang menyakitkan. Kusadari dengan terlambat bahwa sejak tadi ia sudah menangkupkan kedua tangannya di mulutku, seakan-akan hendak meremukkan tengkorakku.

Tekanan telapak tangannya lah yang membuatku terbangun.

Aku menoleh ke samping, pada kakakku, pria beraroma alkohol ini melakukan hal yang sama pada Anin dengan telapak kakinya. 

Kejadian itu bisa Saja terjadi hanya beberapa menit, namun rasa putus asa membuatnya terasa berlangsung selama-lamanya. Kedua mataku sudah berair ketika aku susah payah berteriak.

Kuda-kuda pria itu tiba-tiba runtuh ketika Anin berhasil memebaskan dirinya, berteriak dan berjalan ke sakelar lampu.

Kamar kami yang seketika terang benderang, membuat pria itu lebih panik. Terutama saat langkah kaki kedua orang tuaku terdengar dari luar, di balik pintu yang tertutup dan sialnya terkunci rapat.

Lihat selengkapnya