Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #12

Pindahan Rumah

Di awal tahun 2001, doa Ibuku terkabul lebih cepat. Anin diterima sebagai mahasiswa baru di Institut Pertanian Bogor. Tanpa proses yang berlika-liku dan berdarah-darah, semuanya terjadi nyaris semudah keajaiban.

Tak berapa lama kemudian, setelah menabung beberapa tahun ditambah dengan bonus tertentu yang ia dapat dari kantornya, kami mengucapkan selamat tinggal pada rumah pertama kami, dari dusun yang suram itu, pindah ke seberang sungai di jantung Puraseda. Di rumah impian yang sangat mentereng, dengan dinding-dinding yang hampir seluruhnya dikelilingi jendela-jendela lebar, bahkan salah satu sudutnya terbuat dari bilah-bilah kaca yang dipotong dengan sangat presisi dan direkatkan dengan lem perekat super. 

Ketika kami melihat rumah itu untuk pertama-kalinya setelah dibeli Papi, kami tidak menyangka bahwa kami bakal menetap dan menjadi penghuninya. Rumah paling indah dan paling bergaya di seantero lingkungan itu. Keberadaannya sendiri nyaris menyerupai sebuah anomali.

Dengan fasad keramik putih, teras yang menyerupai panggung dan terbuka ke jalan dan lingkungan di bawahnya. Tak berhenti sampai disitu, kalau aku berdiri di teras kami, aku bisa dengan mudah melihat atap bangunan sekolahku, rumah-rumah di Kampung Gudang yang hilang timbul dalam pola tertentu, terus terbuka hingga tampaklah punggung perbukitan di sisi Barat dan Gunung Salak yang menjulang dalam kangkuhannya yang anggun.

Kabar tentang pencapaian Kakakku yang mahsyur dan dianggap mengharumkan lembah kami, bergaung dimana-mana. Terutama di tiap perkumpulan-perkumpulan sosial yang dihadiri para pengajar dan pendidik, atau sekolah-sekolah.

Bagi ibuku, ini adalah peristiwa yang sangat besar dalam hidupnya. Untuk pertamakalinya, ia tidak harus berjalan menunduk, merasa diremehkan, atau dikucilkan di tiap perkumpulan keluarga besar ayahku.

Mami pernah bilang, bahwa saat itu ia merasa seolah-olah bulan Purnama jatuh di pangkuannya.

Aku tidak begitu ingat bagaimana akhirnya kami bisa meninggalkan rumah kami sebelumnya. Aku bahkan tidak ingat sibuk-sibuk membantu semua orang mengepak barang. Kenangan tentang itu dengan cara tertentu mengabur.

Lantaran dikalahkan oleh kebahagian dan euforia yang sangat menggebu-gebu, dari horor yang telah mengepung kami selama bertahun-tahun.

Meski di titik itu, kami semua sangat naif dan berpikir bahwa rumah baru kami adalah sebuah pembebasan mutlak. Kami hanya tidak tahu bahwa sesuatu yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih sulit untuk ditaklukan tengah menunggu kedatangan kami.


Lihat selengkapnya