Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #13

Ramalan Zodiak

Setelah beres menata perabot dan melipat kardus-kardus bekas dengan rapi untuk dijual kembali, tibalah saat kesibukan lainnya di mulai.

Kerabat-kerabatku, terutama para bibi yang tinggal tidak jauh dari rumah baru kami, bahkan beberapa tinggal di blok yang sama, berdatangan dan menjejali setiap sudut dapur Ibuku. Ada tungku-tungku dadakan yang dibuat dengan susunan batu bata. Para penjual suluh garing dari perbukitan, hilir-mudik menurunkan kayu bakar di halaman belakang rumah kami sempit namun memanjang. Bumbu-bumbu direjang, air direbus hingga mendidih, suara desis tumisan yang ditingkahi adukan spatula logam yang beradu dengan permukaan wajan, menguarkan kepulan asap yang berbau harum.

Mami bilang, kami bakal menggelar syukuran untuk dua hal berbeda sekaligus: pindahan ke rumah baru, dan diterimanya Anin di Perguruan Tinggi paling bergengsi di Kabupaten kami.

Aku ditugaskan memindahkan sofa di ruang tamu ke teras. Nopal dan Faris membantuku. Tidak butuh waktu lama bagi kami melakukannya. Sofa-sofa murah itu hanya dibuat dari rangka kayu murahan dengan teknologi pegas dari karet-karet ban bekas dijalin malang-melintang. Sepuluh menit kemudian, kami sudah berhimpit-himpitan di sofa itu, berebut membaca koran dan majalah-majalah.

Nopal, yang sejak tadi tenggelam di balik majalah anak-anak yang terbuka, mendadak melirikku.

“Belakangan, aku jarang melihatmu main sama Sigi dan Leo.”

“Benar. Aku sedang tidak kerasan main sama mereka.”

Ia mengangguk-angguk sok mengerti.

“Dengar-dengar, kemarin dia dipanggil Kepala Sekolah.” Katanya lagi santai.

“Ha? Kenapa?”

Ia menyingkirkan majalah itu, melipat dan menggulungnya, lalu meneropongku wajahku tepat dihidung. “Serius kamu nggak tahu?”

Aku menggeleng.

“Kemarin ada razia dadakan. Leo kedapatan bawa rokok ke sekolah.”

Tapi dia tidak pernah merokok. Buat apa dia melakukannya?

“Oh.” Hanya itu yang bisa kubilang.

Tiba-tiba timbul perasaan tak nyaman di perutku. Apakah ia melakukannya untuk membuatku kesal. Aku sama sekali tidak mengenal Leo yang ini. Dia mungkin enerjik dan penuh rasa ingin tahu, tapi banting setir menjadi anak badung, bukanlah sifat alami dirinya.

“Yah, mungkin saja itu punya kakak kelas kita, kan.” Kataku kemudian. “Dia cuma dititipin.”

“Mungkin.” Nopal acuh tak acuh.


*

Acara kami berjalan cukup baik. Di siang hari ada prasmanan khusus untuk keluarga besar, sementara di malam hari ada acara mendoa yang khusus didatangi kaum pria. Aku bahkan melihat beberapa tetangga kami dari Purasari.

Aku duduk bersila mengenakan sarung dan peci di samping Papi. Nopal dan Faris duduk di samping ayah-ayah mereka, kedua pamanku. Mereka sengaja memisahkan kami lantaran kami bakal mengobrol alih-alih ikut mendoa dan merapal doa-doa dengan ngebut sebagaimana yang mereka lakukan. Ritme yang tidak pernah berhasil kuakrabi. Lantaran aku lebih suka berdoa secara privat dengan bahasa yang kupahami.

Ketika besek plastik berisi berkat makanan terakhir sudah dibagikan. Begitu juga sengketa sendal-sendal terkutar sudah diselesaikan tanpa ada pihak-pihak yang harus mengalah. Aku, Nopal dan Faris duduk di ruang tamu yang sudah lengang. Kami mengutip sampah-sampah gelas plastik air mineral yang berjajar di antara asbak, menyorir kue-kue basah yang masih layak dimakan dan menyingkirkan sisanya yang terlihat sudah pernah digigit atau yang ketumpahan abu rokok.

Lihat selengkapnya