Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #14

Memori Minggu Pagi

Aku menyukai hari minggu melebihi apapun di dunia ini.

Walaupun pengalamanku dalam beberapa hal melebihi kawan-kawanku di kelas, bahkan melebihi anak umur 14 tahun manapun di lingkunganku. Tetap saja, aku hanyalah seorang bocah yang kebetulan mengalami perubahan fisik secara mengejutkan. Rambut-rambut halus dilipatan tubuhku mulai tumbuh—yang membuatku berhenti mandi telanjang kalau Sigi dan Nopal mengajakku berenang di sungai. Jakunku mulai menyembul di pangkal leherku, dan tubuhku menjulang beberapa senti ke atas seakan-akan aku bakal tumbuh melampau atap rumahku kalau-kalau aku tak cukup pintar untuk memperlambat pertumbuhanku.

Tapi aku tetap saja aku mandi ogah-ogahan tiap minggu pagi, menyeret tubuhku dengan berat dari tempat tidur, menyambar remote televisi, dan berbaring di atas karpet di ruang keluarga.

Memori minggu pagi selalu kuasosiasikan dengan ingatan tentang resep-resep baru ibuku, kue-kue yang keluar dari oven dan menguarkan aroma hangat yang sangat ‘rumah’, langit yang selalu lebih biru dan lebih cerah, cahaya matahari yang selalu lebih lembut dan lebih hangat, dan angin yang selalu bertiup lebih bersahabat dari hari-hari sekolah.

Hari minggu itu sebuah mukjizat, sebuah anomali, seperti manna dan salwa yang turun dari langit saat pengikut Isa menuntut sebuah keajaiban di hadapan mereka. Seperti lembaran-lembaran komik warna-warni dengan deretan superhero berkostum spandex, seperti permen karet bulat warna-warni di dalam toples bening yang bundar, suara pekik dan derap kaki anak-anak di taman bermain, permen kapas merah jambu, aroma kebebasan yang tercium di udara saat aku ngebut di atas sepedaku yang melaju kencang.

Hari minggu mewakili semua suka cita dan kebaikan di seisi dunia.

*

Tapi kalau kau pura-pura lupa, hari minggu juga berarti parade film-film anak di televisi—Dimulai dari Doraemon yang tayang setelah siaran Nuansa Pagi, Anak Seribu Pulau, Candy, dan Power Rangers. Dan kalau aku cukup beruntung—karena kadang-kadang Anin,ngamuk dan mengusirku dari depan tv kalau dia perlu menonton acara lain, menyapu lantai, atau menyetrika pakaian seleuruh anggota keluarga—aku membubarkan diri setelah menyaksikan episode terbaru serial Wiro Sableng.

Tapi yang lebih sering terjadi ia bakal mengancam akan mengadukkanku pada Ibu kalau aku tidak segera mandi, tidak menyiram pot-pot di halaman, atau mencuci semua piring dan gelas bekas sarapan sebelum aku kabur dengan sepedaku dan baru pulang menjelang sore dengan sendal putus, noda lumpur di seluruh pakaianku, atau baret-baret di lututku.

Menjelang usia empat belas di rumah baru kami, Aku belum tahu saja kalau tak lama kemudian hidup mengajariku sebuah pengalaman asing yang kemudian merubah jalan hidupku sepenuhnya. Sebuah pengalaman yang kualami terlalu dini di fase hidupku.

*

Di paruh kedua tahun pertamanya, Anin sering sekali disibukkan oleh praktik lapangan yang mengharuskannya membawa sepatu bot karet di samping jurnal dan buku-buku panduan. Waktu itu, sistem perkuliahan masih sangat analog. Mahasiswa masih lazim mondar-mandir dengan barang bawaan yang berjubelan di ransel mereka. 

Meski dalam benak remajanya ketika SMP atau SMA, gambaran mahasiswa adalah apa yang ditampilkan cewek-cewek modis di tayangan sinetron. Seperti Cornelia Agatha di Sinteron Si Doel Anak Sekolahan, Jihan Fahira, Atau paling tidak seanggun Vira Yuniar dan memesona Nabila Syakib. Tapi semua gambaran tersebut rupanya tidak cocok dengan mahasiswi pertanian di fakultasnya. Yang harus rajin-rajin turun ke ladang, mengakrabkan diri dengan tanah gembur, pupuk organik, dan sesekali memanen jagung dan hasil tani dari ladang-ladang tempat praktik mereka.

Saking banyaknya barang bawaannya, kadang-kadang kami harus bertukar ransel. Aku sekolah menggunakan ransel slempangnya yang hanya mampu memuat buku-buku dan alat tulis. Sementara Anin menggunakan ransel pramukaku yang berukuran 35 liter, dengan banyak tali dan cantolan.

Aku pribadi merasa ransel tersebut terlalu besar untuk kebutuhan anak SMP kelas satu sepertiku. Tapi kemudian didorong oleh perbujetan, Mami tahu Aku pasti bakal ikut banyak kegiatan ekstrakulikuler di sekolah, mabit, atau kegiatan lainnya yang mengharuskan kami bermalam di gedung sekolah karena Aku kemudian juga mendaftarkan diriku sebagai anggota OSIS atau disekolahku kami menyebutnya IRM. Karena itu mencegah pembelian kedua untuk ransel cadangan, Mami mengandalkan firasatnya untuk merekap kebutuhanku selama tahun pertama SMP dengan membelikanku ransel pramuka itu.

“Lihat, kau bahkan dapat bonus gantungan kunci simpanse.” Katanya bangga.

Aku memutar bola mata.

Anin dibelikan tas kuliah dari merek yang sama, namun ukurannya terlalu simpel. Warnanya bahkan sedikit terlalu mentereng untuk anak cowok. Warna batu bata merah, hampir kecokelatan memang. Namun aku yang sudah terlanjut dikata-katai cowok lemah dan kurang atletis ini, harus menanggung stigma yang dibentuk masyarakat sekolahku lagi. Tapi kata Mami, aku bodoh kalau mendengarkan opini-opini orang.

Waktu itu Anin pulang praktik di hari jumat sore atau sabtu sore, aku tidak begitu ingat. Baju dan barang-barangnya basah kuyup. Ia mengeluh demam dan sakit kepala. Mami kemudian mengantarnya berobat ke bidan setempat.

Tapi Aku masih ingat, di hari berikutnya, hari minggu yang seharusnya selalu menjadi minggu pagi yang gaduh entah karena kami berebut remote televisi, atau saat mangkir dengan beribu alasan untuk menyelesaikan tugas-tugas wajibku, Anin tidak juga keluar dari kamarnya.

Aku mematikan televisi, menyadari hal aneh sejak aku terbangun pagi itu, lantaran Mami terlihat bolak-balik ke kamarnya. Dengan tatapan yang terakhir kali kulihat ketika kamar kami dibobol pria tak dikenal beberapa tahun yang lalu di rumah lama kami.

Ayahku, Papi, tidak seperti biasanya. Jika di hari-hari minggu lain setelah sarapan, ia bakal anteng dengan secangkir kopi panas di gelas transparan yang tertutup tutup gelas plastik warna pink. Biasanya Ibuku menyajikannya di atas piring tatakan kaca yang tipis yang kami dapat dari produk sabun bubuk. Sambil menyesap kopi itu dengan metode dan decakkannya yang khas, ia bakal menekuri halaman-halaman koran minggunya yang berbau harum dengan permukaan yang halus dan sangat rumah.

Tapi hari minggu itu, Ayahku sesekali masuk ke kamar Anin. Di pintunya yang terbuka sedikit, aku bisa melihatnya sedang berjongkong. Mengatakan sesuatu dengan lirih. 

Lihat selengkapnya