Oke, aku baru saja mencari tahu dan menemukan bahwa tidak ada padanan kata yang spesifik untuk Bigfoot dalam bahasa indonesia kecuali makna harfiah yang berarti ‘kaki besar’. Kata Bigfoot memang lebih merujuk pada mahluk humanoid yang konon katanya hidup di kawasan hutan Barat Daya Pasifik, Amerika Utara. Sebagaimana yang bisa kukutip dari Wikipedia, mahluk ini telah hidup melalui laporan-laporan tanpa bukti fisik dari saksi mata sejak abad-19.
Boleh saja menuduhku semata-mata menciptakan gimmick murahan agar buku ini setidaknya terdengar sedikit lebih menarik ketimbang buku-buku sedih tentang keluarga-keluarga putus asa yang berjuang melawan penyakit mematikan. Tapi pemilihan kata Bigfoot untuk mahluk yang kulihat tahun 1992 tersebut kupikir memang sama sekali tepat. Kuakui saat itu aku bahkan sedang berjuang melawan kebiasaanku ngompol di celana. Perbendaharaan-kataku belum cukup memadai agar aku setidaknya bisa berkomunikasi dengan layak dengan Mami, Anin, Kara, dan orang-orang di sekeliling kami. Aku bahkan belum tahu-menahu bahwa ada seorang pria Amerika ambisius yang menciptakan sebuah saga luar setelah menonton dan terinspirasi Seven Samurai-nya Akira Kurosawa, dan di film tersebut ia menciptakan sebuah karakter berbulu yang cukup mirip dengan apa yang kulihat malam itu di kamar tidurku.
Sebenarnya kurang tepat juga menyebutnya ‘kamar tidurku’. Karena faktanya rumah papan kakekku itu cukup kecil sehingga aku harus berbagi ruang dengan Mama dan Anin. Aku tak ingat dimana Kara tidur. Kurasa saat itu dia berada di ruangan lain dengan bibiku. Sementara Papi sedang berada di pedalaman hutan kawasan Perawang, sebuah tempat di kabupaten tetangga yang jaraknya cukup dekat dengan Kota Pekanbaru.
Saat itu Papi sedang mandah. Sebuah aktivitas buka lahan cara tradisional yang mengharuskan para pekerja—suruhan perusahaan kertas raksasa—ditempatkan di kedalaman hutan. Walaupun mandah juga merupakan nama sebuah lokasi di Kabupaten Indragiri Hilir sebagaimana yang kutemukan di mesin pencarian internet. Papi dan rekan-rekan kerjanya bakal membangun sebuah tenda sederhana di bawah naungan pohon-pohon raksasa. Setelah ia kembali dari hutan, Papi bakal menaruh kami di pangkuannya yang kokoh seperti cabang pohon celangi di halaman rumah kami di Perawang, lalu mulai bercerita tentang seekor Gajah yang mengamuk dan merusak sebuah alat berat milik perusahaan. Juga tentang raungan-raungan misterius yang nyaris setiap malam terdengar, jejak-jejak kaki misterius di lantai hutan yang berlumpur, dan tentang sosok-sosok gelap yang sepertinya selalu mengawasi perkemahan Papi setiap malam. Kalau saja aku sudah cukup pintar mengutarakan hal-hal aneh yang kualami, rasanya ingin sekali aku bertanya pada Papi saat itu, kalau-kalau ia pernah tanpa sengaja melihat sebuah penampakkan pria bertubuh jangkung dan berbulu lebat seperti Chewbacca dalam sagar Star Wars.
Bisa jadi malam itu aku memang kebingungan. Tapi saat aku terbangun tengah malam di antara Anin dan Mama yang sepertinya tertidur begitu pulas, aku sempat berpikir bahwa pria yang berdiri di kamar tidur kami adalah Papi. Oke, kemudian aku berusaha mengumpulkan kesadaranku sepenuhnya. Lalu menatap ke seberang dan menemukan bahwa jendela kamar kami terbuka. Memang ada kisi-kisi kayu yang dipaku alakadarnya untuk mencegah siapapun menerobos saat malam hari, tapi aku bisa melihat ke seberang jendela dengan cukup jelas. Sinar bulan begitu sempurna menyepuh situasi di luar sana terlihat begitu biru dan keperakan. Malam begitu tenang. Daun-daun nyaris tak bergerak sama sekali. Tak ada deburan angin liar yang selalu membuatku ketakutan bakal dengan mudah mengelupas satu demi satu atap seng rumah nenek.
Lalu tatapanku bergerak dengan terampil ke sudut kamar kami yang lain. Bigfoot endemik itu kini tengah menghadapi meja rias sederhana tempat Mama meletakkan tas tangan, alat-alat make-up, bedak tabur, deodoran, sisir, dan tonik pembersih wajah tiap kali kami harus mengungsi ke rumah nenek karena Papi mandah di hutan.
Karena satu-satunya penerangan berasal dari jendela yang terbuka, situasi di dalam kamar kami cukup gelap. Hal yang membuatku tiba-tiba tersadar bahwa ia bukan Papi, adalah siluet yang memperlihatkan dirinya dari atas ke bawah ketika ia sadar bahwa aku terbangun. Mahluk itu berhenti menyibukkan diri dengan tangannya, kepalanya perlahan-lahan berputar ke arahku, dan saat ia bergerak satu dua langkah tepat dibingkai oleh jendela kamar kami yang terbuka, aku sadar bahwa pria itu bukan Papi yang mengenakkan sweater tebalnya, tapi mahluk itu memang ditumbuhi bulu lebat dari kepala hingga ujung kaki. Seperti sosok Bigfoot yang kulihat di surat kabar, atau Chewbacca di dalam Milenium Falcon yang kusaksikan bertahun-tahun kemudian di layar televisi 14 inci.
Hanya saja Bigfoot endemik itu terlihat lebih tenang, lebih berwibawa ketimbang Chewbacca yang sepertinya selalu bertingkah-laku seperti bocah Sekolah Dasar dan serba reaktif. Kalau memang ia bisa bicara, bisa kupastikan suaranya bakal terdengar begitu dalam dan berkarakter seperti pria-pria pembaca berita di TVRI. Atau bahkan suaranya bakal terdengar seperti Sinatra.