Aku tidak tahu berapa lama tepatnya Anin dirawat di Rumah Sakit Ciawi kala itu. Ketika aku mengkonfirmasi hal itu pada Mami, ia juga tidak bisa memastikannya.
Hanya saja, saat itu kurasa aku kehilangan daya paham terhadap waktu. Karena setiap hari berjalan lebih lamban dari biasanya. Waktu terulur dan mungkin memuai dengan cara-cara yang tidak nyaman.
Jika di hari-hari normal ketika tak ada apapun yang terjadi pada keluarga kami, aku ingin sekali menguasi rumah sendirian. Aku ingin bisa mandi dan mengedan saat buang air besar selama yang kubutuhkan. Aku ingin makan sebanyak apapun yang kumau, tanpa harus merasa khawatir saudari-saudariku tak kebagian. Dan tentunya di hari minggu, aku ingin menguasi ruang keluarga seorang diri, dengan remote TV di tanganku dan saluran-saluran apapun yang bebas kuoper-oper semauku.
Bahkan, aku bisa menonton acara-acara yang sebelumnya dilarang ayahku untuk kami konsumsi. Tapi sialnya, lantaran aku seorang diri, Aku tidak bisa nonton uji nyali, atau acara-acara reality show horor. Lantaran aku bakal paranoid dan kehilangan kedamaian di rumahku sendiri.
Tapi rupanya, ketika semua itu menjadi kenyataan, aku tidak benar-benar menginginkan dan membutuhkannya. Terutama ketika aku sadar bahwa keluargaku saat ini sedang tidak baik-baik saja.
Bahwa semua jenis rekreasi apapun yang kunikmati dalam kesendirian, gagal kunikmati secara utuh. Lantaran hatiku menolak turut menikmatinya. Aku bakal teringat Mami yang sedang menunggu Anin yang terbaring nyaris koma di rumah sakit tanpa kepastian, aku akan ingat murungnya adikku Wendi, yang harus mengungsi di rumah salah satu bibiku dan sesekali menemaniku di rumah jika Papi juga sedang tidak dinas atau berkunjung ke Rumah Sakit.
Tanpa Anin, dan keberadaan Ibuku yang merupakan hati dan jiwa sesungguhnya di sana, rumah kami hanya terasa seperti sebuah bangunan yang dingin dan kosong.
Aku bisa merasakan kemurungan total di setiap sudutnya. Gorden-gorden merahnya terasa sangat asing. Dinginnya lantai keramik tidak pernah terasa semenusuk itu.
Jika satu atau dua tahun lalu rumah ini merupakan sumber kebahagiaan buatku, dengan absennya kebahagiaan yang pernah kami miliku, Aku merasa terkurung dan terisolasi di sebuah pengasingan. Bagi Mami dan Papi, aku tahu semua ini terasa jauh lebih buruk.
Selang dua atau tiga minggu setelah minggu yang murung itu, sebenarnya aku sudah terbiasa dengan kesendirianku. Aku masih membayangkan monster atau Bigfoot Endemik Sumatera itu akan muncul tiba-tiba diambang pintu kamarku. Tapi lelah dan kesedihanku tidak memberiku kesempatan untuk merasa takut, atau bereaksi berlebihan.
Sesekali, para sepupu dan kawan-kawanku diizinkan orang tua mereka dan orang tuaku untuk menginap. Kedatangan mereka membuat suasana rumahku jauh lebih hangat. Kami bakal tidur di depan televisi, atau di kamarku. Di atas kasur-kasur yang dirapatkan satu sama lain, dilapisi seprai yang ukurannya lebih lebar, supaya tercipta ilusi bahwa kasur-kasur itu merupakan kasur tunggal berukuran dobel King Size.
Kalau para sepupu cowok, dan sesekali Sigi sedang menginap, Wendi tidak akan kubiarkan tidur disitu juga. Ia bakal mengindap di rumah sepupu Perempuan yang seumuran dengannya. Tapi Aku tidak pernah mengizinkannya menginap di rumah Nenek.