Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #17

Monsterku Semakin Nyata

Jadi semuanya mulai masuk akal. Kenapa sejak Anin berumur sebelas tahun, tiap kali dokter atau bidan di Puskesmas meresepkan antibiotik, kulit bibirnya pecah-pecah.

Baik Mami dan Papi, meyakini bahwa hal itu hanyalah efek samping dari panas berlebihan dari dalam tubuh Kakakku. Kami belum dibekali pemahaman apapun mengenai alergi obat atau Sindrom Stevens-Johnson. Yang rupanya sudah sejak lahir melekat dalam struktur genetik kakak sulungku.

Beberapa hari sebelum ia dirawat di rumah sakit, seorang Bidan kampung kenalan ayahku meresepkan Anin antibiotik berjenis Amoxicillin. Tapi baru satu setengah butir sejak ia mengkonsumsinya, tubuh Kakakku sudah menyerah.

Dokter yang menanganinya di rumah sakit, mengutarakan dengan suara lirih di lorong rumah sakit pada ibuku, bahwa Anin memiliki semangat hidup yang sangat kuat.

“Dalam kondisi seperti ini, kebanyakan korban sudah meninggal.” Katanya prihatin.

Namun ia berusaha menguatkan Mami, bahwa diagnosa dokter jauh lebih lemah ketimbang kehendak Tuhan.

Mami dan Anin sepakat bahwa dokter pria itu adalah sebagian kecil dari jenis dokter-dokter yang soleh dan amanah. Keberadaannya menguarkan aroma positif dan menenangkan, seburuk apapun kabar yang ia bawa.

Tak berapa sejak itu, beruntungnya Anin sudah diizinkan pulang ke rumah.

Suster-suster magang yang bertugas dibangsalnya, dan kebanyakan kebetulan satu almamater dengan Anin, menganggap kesembuhannya yang pesat merupakan sebuah mukjizat.

Bukannya Sindrom Stevens-Johnson tidak bisa diobati atau dicegah sama sekali, namun situasi Anin dianggap sudah terlambat. Semua orang mengira kesehatannya akan semakin memburuk dari waktu ke waktu.

Gejala yang terlihat memberi gambaran gamblang bahwa alerginya telah melemahkan sistem imunnya.

Lazimnya penyakit ini menyerang membran mukosa tubuh penderita. Yakni jaringan lunak yang membungkus mata, sistem pencernaan dari mulut hingga saluran pembuangan, dan sistem reproduksi. Inilah yang menjelaskan kenapa mata kelopak mata kakakku menolak terbuka. Seperti cangkang kerang yang terkatup rapat.

Untuk bisa berfungsi dengan mata membutuhkan cairan. Membran mukosa dibagian mata, sebagaimana juga di Wilayah mulut, menyokong proses pelepasan cairan atau sekresi. Di mulut hal tersebut untuk membantu proses pencernaan, sementara dimata proses sekresi dibutuhkan agar bola mata dan kelopaknya bisa leluasa bergerak. Melakukan mekanisme pertahanan dalam gerakan refleks, atau saat kita harus bersin. 

Kedua bola mata kakakku kering sejak kejadian itu. Bola matanya membutuhkan sekresi eksternal untuk bisa membuka dan menutup. Namun efek samping satu setengah butir amoxicillin yang dikonsumsinya kala itu, rupanya telah menyebabkan kerusakan lebih jauh pada bola matanya.

“Ini berapa?” Aku dan Wendi mengacungkan jari-jari kami di depan Anin saat kami berkumpul bertiga di kamarnya.

Saat ini ia sudah jauh lebih sehat, moodnya sangat positif. Lantaran terdorong optimisme bahwa ia akan kembali sembuh seperti sediakala, menjalani rutinitasnya sebagai mahasiswi, pulang pergi ke kampus untuk menghadiri kelas-kelas dan praktikum di lapangan, menonton televisi bersama-sama di ruang keluarga pada hari minggu.

Wendi mengacungkan dua telunjukknya, aku mengepalkan satu jari telunjuk kananku.

Lihat selengkapnya