Sejak Anin kembali dari rumah sakit, nenekku barangkali hanya hitungan jari menengoknya. Kunjungan-kunjungan yang alih-alih menghibur atau menghangatkan suasana rumah, justru menimbulkan suasana yang serba tidak nyaman.
Aku bisa melihat bagaimana Mami berusaha santai dengan kedatangan mertuanya. Aku merasakan bagaimana Anin di kamarnya sekilas menunjukkan rasa tidak nyaman atas tekanan kehadiran nenekku. Dan bagaimana kemudian Papi diajak berbicara empat mata olehnya, biasanya di atas sofa ruang tamu, diberi wejangan dan semacamnya.
Dari ruang tengah, ruang keluarga dimana televisi berada, aku bakal menguak celah mungil di gorden partisi dan mengintip mereka berdua. Menajamkan pendengarannya, walaupun aku tak pernah benar-benar menguping pembicaraan mereka.
Kunjungan nenekku tidak pernah lama, yang pasti bakal langsung dikomentari ibuku dengan sengit, bahwa nenek baru menginjakkan kaki ke rumah kami, dan menjenguk cucu-cucunya, ketika salah satu di antara kami terkena musibah.
Mami tidak pernah bisa memahami jenis cinta nenekku pada kami. Kalau hal itu memang layak disebut cinta.
Kedua kalinya nenekku datang, hal itu justru membuat hubungan keduanya semakin renggang.
Bermula dari check-up rutin Anin ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo setiap dua atau seminggu sekali. Setiap kali mereka harus berangkat, Mami bakal bangun subuh-subuh. Membangunkan kami supaya mandi dan bersiap-siap ke sekolah. Mendorong kami ke meja makan untuk bergantian sarapan. Lantaran meja kayu albasia itu dirapatkan ke dinding, sehingga hanya bisa menampung separuh anggota keluarga. Karena itu, aku lebih sering sarapan di depan televisi yang menyala, menayangkan kartun pagi.
Menyoal ini, Ayahku pernah berkomentar kalau stasiun televisi sengaja menayangkan kartun setiap pagi di hari-hari sekolah, supaya anak-anak malas dan mengarang-ngarang alasan untuk membatalkan sekolah hari itu.
Tapi lain cerita kalau aku sedang diceramahi Papi, atau Mami, biasanya kami dipaksa duduk di meja makan sembari menghabiskan sarapan kami. Aku tidak tahu apa alasannya, tapi kurasa hal itu mereka atur supaya proses transfer informasinya tidak berjalan terlalu canggung, atau terlalu menyakitkan tiba di kedua telinga kami. Dengan susunan kursi seperti itu, aku punya alasan untuk tidak langsung menatap mata Papi dan Mami, kalau mereka tidak memaksaku melakukannya. Biasanya saat mereka sedang marah besar dan aku sedang tidak menyantap apapun.
Ketika kami pulang sekolah, kamar Anin sudah kosong. Mereka berdua menginap di rumah salah satu kerabat kami di Jakarta, lalu naik taksi keesokan harinya ke terminal Bogor. Diteruskan dengan berganti-ganti angkot berbeda jurusan, hingga tiba kembali di Puraseda menjelang ashar.
Suatu kali sepulang dari pemeriksaan rutin itu, Anin masuk ke rumah dengan lesu tanpa menyapa kami bertiga yang sedang menonton acara tv sore hari.
Mami langsung melepaskan jilbabnya dan memapah kakakku ke pintu kamarnya. Namun sebelum Mami ikutan masuk, Anin sudah menutup pintunya duluan dengan pelan.
“Apa mau kurebuskan air buat mandi?” Tanya Mami setelah mengetuk pintu dengan pelan.
“Aku lelah.” Kata Anin dari balik pintu. “Aku mau tiduran dulu.”
Sehari, dua hari, bahkan tiga hari kemudian, Kakakku menolak keluar dari kamarnya. Ia berbaring seharian, terbatuk-batuk di balik pintu kamarnya yang tertutup. Satu-satunya hiburan yang ia miliki, adalah radio tape yang biasanya diletakkan di ruang televisi. Tapi saat ini tanpa ada seorangpun yang memprotes, sudah secara eksklusif dimiliki Kakakku.
Pengasingannya itu bahkan berlangsung lebih dari seminggu. Aku mengetuk pintu kamarnya suatu hari, bermaksud mengerjakan PR bersamanya sambil melipat-lipat kertas origami. Tapi hanya suara desisan radio dan lamat-lamat tembang dangdut lawas yang menembus pintu kamarnya.