Paman dan Bibi tertua mulai berdatangkan. Menenangkan Nenekku dan mendudukannya di atas sofa.
Mami, dengan hati hancur tak karuan, masih sempat menyuruhku mengambil tikar dan menggelarnya di ruang tamu. Hanya Nenek yang duduk di atas sofa dengan bibi tertua. Kami dan beberapa kerabat yang datang duduk melingkar dengan Mami dan Papi berada di ujung lingkaran terpisah. Lingkaran yang terputus. Seperti dua orang pesakitan yang menunggu untuk diadili.
“Kenapa bisa-bisanya dukun itu masuk ke rumah keluarga kita?!” Kata Nenek setelah menengkan diri.
Mami dan Papi saling berpandangan melalui ujung mata mereka. Keduanya menunduk. Aku menyaksikan semua itu di balik kaca jendela di teras, sambil sesekali berbisik sambil mengobrol dengan Faris dan Nopal.
“Ada apa sih di dalam?” Kata salah satu mereka. Tapi tak kuhiraukan.
“Anin sudah tidak mau menjalani pengobatan medis.” Kata Papi lemah.
“Aku paham, tapi kenapa harus dukun!” Nenekku terbakar emosi lagi. “Sebanyak itu pengobatan tradisional religius, bisa-bisanya kau meludahi mukaku dengan memanggil dukun itu!”
Sodara-sodari Papi tidak tidak menunjukkan sikap menghakimi sama sekali, kalapun ada sama sekali tidak kentara. Mereka mengangguk-angguk, menghela napas. Berusaha agar tidak langsung menatap kedua orang tuaku kecuali ketika salah satu dari mereka bicara.
“Almarhum Ayahmu adalah ulama terhormat disini.” Katanya lagi. “Puluhan tahun keluarga kita mengabdi dan mendidik masyarakat ini, tidak pernah ada riwayat kita berkonsultasi, mendatangi, apalagi mendatangkan dukun ke rumah keluarga kita!”
“Ibu, seandainya Ibu terlibat sejak awal ikut memikirkan cucu Ibu, semuanya mungkin tidak akan terjadi.” Ibuku mulai angkat suara. Air matanya berlinang tanpa suara.
Papi menggenggam pergelangan tangan Ibuku. Entah untuk menyatakan keberpihakan, atau menyuruhnya diam. Aku tak tahu yang mana
“Kemana saja?” Ibuku mulai berani mengangkat wajahnya. “Ibu, kalian semua, ketika keluarga ini hancur dan berada di titik paling rendah. Kalian tidak menunjukkan batang hidung sedikitpun.”
Nenekku menarik napas dengan kedua bahu tegang. Sikapnya sangat defensif.
“Kalau memang kita sejak awal keluarga, sayangnya aku tidak merasakan keberpihakkan itu. Aku sama sekali tidak merasakan dukungan kalian.” Suara Mami bergetar. “Anehnya, ketika ada hal yang kalian pikir merusak reputasi keluarga besar kalian, baru kalian hadir dan pasang badan.
“Tapi sayang sekali bukan cucu Ibu. Bukan untuk anakku yang sedang patah. Bukan untuk aku dan suamiku.”
Nenekku hampir mengatakan sesuatu, matanya kini sudah mulai basah dan berair. Tapi ia terlalu angkuh untuk terang-terangan menangis dan menunjukkan sisi rapuhnya.
“Sejak dulu aku selalu disisihkan di keluarga kalian.” Ibuku membiarkan air mata membasahi kerah bajunya. Seperti darah bening yang tak memiliki warna. “Hari ini aku tahu, apa yang jauh lebih penting buat kalian.”
Suasana saat itu benar-benar tidak enak. Aku bahkan bisa mendengar tetangga berbisik-bisik dari luar, penasaran dengan apa yang terjadi di ruang tamu rumah kami.
“Ibu,” kata salah satu paman tertuaku dengan lembut. “Kalau aku berada di posisi mereka, kalau hatiku sehancur mereka, aku akan melakukan apapun demi anakku.”
Paman dan bibiku yang lain saling mengangguk dan memberikan persetujuan dengan lirih. Mereka pasti sudah sangat maklum betapa keras kepalanya ibu mereka.
Papi menarik napas. “Sekarang izinkan Aku bicara. Tanpa tekanan dari Ibu dan kalian semua, kami sudah memutuskan untuk tidak lagi berobat ke dukun tersebut. Kami mencurigai ada semacam praktik penipuan dalam metode pengobatannya.