Berlebihankah kalau kubilang kita tak akan pernah mendapatkan apa yang kita inginkan? Apakah kita tak akan benar-benar hidup tanpa meninggalkan fantasi kita setiap saat?
Karena wajah-wajah paling rupawan yang pernah kulihat adalah wajah-wajah di pinggir jalan. Senyum-senyum paling indah yang pernah kusaksikan adalah senyum-senyum di balik jendela trotoar. Yang kusaksikan ketika aku duduk di tepi jendela sebuah kafe murahan, dengan secangkir latte atau soda dalam gelas-kertas berembun, lalu saat aku melihat untuk kedua kalinya, senyum-senyum itu sudah tenggelam. Larut dalam lautan manusia-manusia sedih dengan kantong jinjingan.
Ketika aku kembali duduk di kursiku, menghadapi layar laptopku yang redup-terang, kedua bahuku merosot karena tiba-tiba aku diliputi perasaan kehilangan yang cukup hebat. Mungkin itulah yang dinamakan patah hati; patah hati karena kisah cinta terpendek yang mungkin terjadi.
Hujan mulai turun seperti tirai di balik atap kaca transparan yang menaungi tangga eskalator naik turun dari seberang jendela tempat dudukku, ditopang oleh konstruksi baja yang kokoh dan malang melintang. Saat aku mengagumi arsitekturnya yang modern, dinamis, namun sama sekali tak memberi ruang kompromi, terlintas di pikiranku untuk mengeluarkan buku catatan mungil hadiah dari kawanku yang kini menetap di Istanbul, yang selalu kusimpan di backpack dekilku untuk berjaga-jaga kalau aku bakal dirasuki sesuatu hingga sekelebat ide-ide brilian muncul. Gagasan ini muncul saat itu: haruskah aku mulai menghitung berapa banyak kisah cinta terpendek yang kualami setiap hari sepanjang hidupku?
Mungkinkah itu akan membuatku lebih baik dan mengurangi kesedihan permanen yang kurasakan? Mungkinkah setidaknya hal itu akan membuatku bahagia selama lima menit sebelum efeknya memudar seperti obat warung?
Atau barangkali semuanya hanya akan mempersulit rutinitasku, karena daftar-daftar itu barangkali akan kutebus sepenuhnya dengan rasa penyesalan yang pekat. Alih-alih membuatku bahagia, barangkali hal itu hanya akan membuatku semakin menderita karena rasa kehilangan.
Tapi kisah cinta pertamaku di umur 14 tahun itu, yang juga pada akhirnya tidak bisa kumiliki, adalah anak perempuan tetanggaku. Aprilia.
*
Oke, mari bicara tentang saudari-saudariku. Nyaris sepanjang hidupku aku selalu dikelilingi mereka. Aku tumbuh dengan menyaksikan mereka uring-uringkan pada Ibuku ketika mereka mendapat menstruasi pertama, saat mereka mulai berangsur-angsur menanggalkan kaos kutang, bra latihan, lalu mulai mengenakkan bra sungguhan.
Ketika satu-persatu dari ketiganya jatuh cinta dan patah hati. Walaupun sebagian besar informasi tersebut aku dapat dari Mami karena aku (tentu saja) tidak selalu hadir dan menyaksikannya secara langsung. Barangkali di satu sisi ibuku juga merasa wajib memberiku informasi yang cukup tentang satu dua hal, karena barangkali ia ketakutan aku bakal merasa bingung dengan saudari-saudariku dan tumbuh di tengah-tengah mereka. Terutama ketika aku tak pernah memiliki saudara laki-laki sebagai panutan, dan Papi, yang ironisnya adalah seorang petugas lapangan BKKBN, yang kurang lebih tugasnya mempromosikan kesehatan reproduksi kepada para warga dan orang-orang yang sudah masuk usia subur, tak pernah sekalipun mau melibatkan dirinya untuk sekedar memberi pencerahan tentang fase hormonal anak laki-laki satu-satunya yang ia miliki—secara kultural dan iklim tertutup keluarga kami juga merupakan pemicunya.
Barangkali perlu kutambahkan, selain perbincangan yang bersifat emosional, perbincangan yang sifatnya vulgar juga sering kali kami hindari di bawah atap rumah keluarga besarku. Tapi tetap saja aku tak ingin sok tahu, karena bisa jadi kaum perempuan di keluarga besarku selalu memiliki dimensi rahasia yang hidup dalam bisikan-bisikan lirih, jadwal menginap mingguan para sepupu perempuan, atau perbincangan-perbincangan di balik pintu tertutup ketika mereka hanya mengenakan piama, saling mengepang rambut, dan bergiliran membuka halaman majalah Gadis dan Aneka.
Perlu kutambahkan sedikit, bahwa di satu titik tertentu Mami sepertinya curiga aku bakal tumbuh kembang menjadi anak laki-laki yang tak dikehendakinya. Berhubung saat aku kecil, ketika di luar hujan deras dan Mami menyuruhku tinggal di rumah seharian, aku hanya bisa bermain dengan saudari-saudariku. Kadang-kadang mau tak mau aku terlibat permainan mereka. Bongkar pasang, boneka, atau apapun yang kebetulan sedang mereka kerjakan.
Suatu hari, Anin dan Kara pernah mendadaniku dengan peralatan rias Mami dan menyuruhku mengenakan pakaian mereka yang sudah kekecilan. Mereka menggiringku ke cermin, tertawa terbahak-bahak, dan memujiku habis-habisan. Kurasa saat itu mereka sepakat bahwa kalau saja aku jadi adik perempuan mereka, aku bakal tumbuh lebih cantik dan lebih menawan dari mereka berdua. Aku akan menjadi bayangan bagi keduanya dan membuat mereka kesulitan mendapat pacar.
Aku tidak begitu ingat apa yang terjadi, tapi Mami menyeretku ke kamar mandi dengan paksa, menanggalkan pakaian Anin dan aksesoris Kara, lalu menyuruhku mencuci muka sampai riasan menorku luntur dan aku kembali menjadi anak laki-laki.
Ketika aku kembali mengenakan pakaianku, Papi duduk di meja makan di hadapan kedua kakakku. Ada perbincangan yang serius yang tak begitu kumengerti, yang disusul oleh makan malam yang cukup kalem karena tidak seperti biasanya, kedua kakakku menjadi begitu pendiam dan meninggalkan meja lebih dulu sebelum piring mereka kosong.
“Apa semua orang marah gara-gara aku pakai lipstick Mami?” Aku meletakkan kedua sendok garpu di piringku, melipat kedua tanganku di meja.
Mami mendorong kursinya dan meraih Bayi Wendi yang rewel di tempat duduk berodanya yang berisik. Papi tersenyum singkat padaku, menggosok rambutku dan menyuruhku menghabiskan makan malam sebelum mengerjakan PR dan pergi tidur.
Seiring waktu berjalan, kadang-kadang bahkan aku tidak begitu peduli apa yang saudari-saudariku alami. Karena saat Anin dan Kara tumbuh besar, aku hanya peduli dengan duniaku, bermain bola di penjemuran padi, nongkrong selepas magrib, dan nonton film dari tempat rental VCD di depan bangunan sekolah. Memang pada akhirnya aku mengkhawatirkan adikku, Wendi, yang menjalani masa-masa puber ketika aku sudah tidak lagi berada di rumah pada tahun-tahun awalku di asrama universitas. Apapun bisa terjadi pada adik perempuanku. Walau nyatanya ia tumbuh menjadi seorang gadis kuat dan berpendirian. Aku hanya terlalu meremehkannya ketika ia bergaul dengan teman-teman SMP-nya yang bodoh dan ceroboh.
Baik Anin dan Kara, sepanjang masa remaja mereka yang hebat telah mengalami begitu banyak periode patah hati yang setiap bagiannya ditandai dengan nama mantan-mantan pacar atau kakak kelas yang mereka taksir. Aku tak selalu hadir dalam setiap keluh-kesah mereka tentang cowok-cowok brengsek yang membuat mereka menangis di dalam kamar, kehilangan nafsu makan, dan nyaris kehilangan minat melakukan apapun kecuali Mami sudah menggedor pintu kamar mereka dan menuntut penjelasan.
Kupikir mereka sibuk dengan buku diari yang terbuka, dan jari-jemari yang gemetaran saat menuliskan kalimat demi kalimat pujaan pada cowok-cowok yang terkadang bahkan sama sekali tak mengetahui nama mereka. Tapi beruntungnya, mereka tumbuh lebih cepat menjadi cewek-cewek yang bijaksana. Masa-masa seperti itu tidak menjadi sorotan dalam hidup kedua kakakku. Karena seingatku Anin cukup aktif dalam organisasi pelajar Muhammadiyah di sekolahnya. Sementara Kara, yang menjalani masa-masa sekolahnya di Pekanbaru, tidak mengizinkan dirinya bergaul dengan cowok-cowok urakan dengan pandangan hidup kabur. Keduanya selalu berusaha menjalani masa remaja yang produktif walaupun sesekali masih tetap diselingi beberapa drama yang melibatkan cowok baru, guru idaman, atau surat-surat berbau harum yang diselipkan di laci meja mereka—saat itu ponsel belum begitu populer karena ancaman roaming nasional benar-benar mengerikan dan menguras kantong yang membuat keluarga kami berpikir dua kali. Kalaupun kami harus menelepon kerebata di seberang pulau, Mami bakal menggiring kami ke wartel atau telepon umum di seberang bangunan Balai Desa.
Kalau saat ini aku membuka-buka album lama keluarga kami, aku akan melihat foto Anin dan Kara bersama kawan-kawan mereka semasa sekolah. Kalau kebetulan aku sedang bersama Ibuku, maka dia akan menunjukkan cowok-cowok mana saja di potret-potret buram itu yang pernah jadi idaman mereka. Beberapa dari para pemuda beruntung itu bahkan tidak mendekati kategori tampan sekalipun. Beberapa tampak culun dengan celana gombrang, kalung aneh berbandul koin berlubang di leher kurus mereka, rompi jeans, dan gaya berpakaian awal 2000’an yang membuat mereka tampak seperti model-model katalog lawas.
Aku tidak tahu apakah aku mendengar dari salah satunya, atau alih-alih keduanya memberitahuku di waktu yang berbeda. Tentang mantan-mantan mereka dan cowok-cowok bergaya rambut aneh yang pernah membuat mereka terbengong-bengong dan merana semasa sekolah. Bahwa wajah-wajah lama itu akan terbenam dengan sendirinya, hidup dalam foto-foto buram yang masih mereka simpan dalam album kenangan yang terabaikan. Bahwa akan ada beberapa orang dalam hidupku yang garis hidupnya bersinggungan denganku di satu titik, lalu pada akhirnya kami akan saling melepaskan dan memisahkan diri.
Ketika aku hidup sebagai anak laki-laki 13 tahun, aku tidak pernah mengadopsi pemikiran suram semacam itu. Karena saat itu kurasa seluruh dunia diciptakan untukku. Bahwa tak ada ruang sedikitpun dalam hidupku yang istimewa untuk memelihara hal-hal yang bikin depresi karena aku sudah cukup malang dengan pandangan miring orang-orang di sekelilingku tentang kecenderunganku yang unik: introvert, kutu buku, dengan selera musik aneh, gaya berpakaian yang tidak konvensional, kerap menjelajah atau bermain di sungai, ketimbang benar-benar terlihat nongkrong dalam lingkar pergaulan anak-anak sebayaku kala itu.
Intinya, apa yang ingin disampaikan oleh kedua kakakku adalah betapa saat itu pengalaman belum memberiku informasi yang cukup tentang sebuah siklus tragedi yang nyaris kekal: bahwa akan tiba saatnya seseorang melupakanku, akan tiba saatnya aku berhenti merindukan seseorang.
Karena perlahan-lahan hidup mulai menunjukkan sifat aslinya. Bahwa ia tidak akan pernah memberi kita masa depan tanpa menganugerahi kita masa lalu.