Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #21

Aku Mewarisi Mimpi Buruk

Kurasa tak akan satupun keluarga yang pernah membayangkan hal-hal buruk terjadi pada mereka suatu hari nanti. Aku yakin memang bukan begitu cara berpikir kebanyakan orang.

Termasuk kedua orang tuaku, ketika mendapati anak sulungnya mengalami gejala aneh sejak ia berusia 16 tahun. Atau setidaknya, mereka berusaha memikirkan kemungkinan yang lebih bersahabat seperti ‘panas-dalam’ atau demam ringan yang belum terjelaskan namun akan sembuh dengan sendirinya.

Sebagaimana yang telah kusinggung sebelumnya, Aku masih ingat bahwa setiap kali Anin sakit, Papi akan membawanya ke berobat ke klinik maupun Puskesmas. Atau kadang-kadang ketika ia membutuhkan Mami disisinya, mereka akan keluar di halaman, membentangkan payung, dan berjalan sejauh satu kilometer ke rumah dokter tak jauh dari komplek Balai Desa yang sepi setelah jam 4 sore.

Dua atau tiga hari setelah itu, barangkali kondisinya akan berangsur-angsur membaik sehingga ia diizinkan kembali sekolah. Namun yang tak pernah dipahami kedua orang tuaku, Anin selalu menunjukkan gejala aneh yang tidak umum tak peduli sakit apapun yang dideritanya.

Bibirnya pecah-pecah dan mengelupas tiap kali ia berada dalam proses pengobatan. Baik Mami dan Papi, merasa yakin bahwa hal tersebut disebabkan oleh reaksi tubuhnya dengan cuaca tropis. Karena baik Aku, Kara dan Wendi, tak ada satupun yang mengalaminya.

Aku masih ingat Anin pernah mengeluh karena ia bosan dengan aroma madu yang memuakan.

Pasalnya ibuku menggunakannya untuk mengolesi bibir Anin yang pecah-pecah. Kurasa salah satu dokter menyarankannya dalam salah satu kunjungan yang kurasa tak pernah berakhir. Dan sejauh yang aku ingat, madu tidak pernah benar-benar membantu. Bibir Anin sembuh dengan sendirinya tiap kali itu terjadi.

Baik Mami dan Papi mengandalkan madu dan obat-obatan tradisional sebagai dasar anggapan bahwa hal itu memang bisa disembuhkan, semata-mata agar keduanya bisa bernapas lega dan menjalani rutinitas dengan tenang. Terutama kalau Anin sudah kembali sekolah dan terlihat riang sebagaimana ia dalam kondisi normal, kami mencoba melupakannya seolah-olah memang tak pernah terjadi apapun pada kakakku.

Walau belakangan kami tahu, bahwa selama sindrom itu ditemukan pada awal abad 20, tidak pernah ada riwayat seseorang mendapatkan kembali hidup normalnya setelah terlambat didiagnosa.

Dengan kata lain, secara teori kondisi Anin sudah sangat terlambat untuk ditangani secara medis.

Selain keajaiban Ilahiah, tak pernah ada obat yang mampu menyembuhkannya.


*


Keesokan harinya setelah aku terjebak hujan di rumah April, Anin terpaksa harus kembali dilarikan ke rumah sakit. Aku tidak ingat gejala apa yang saat itu ia rasakan.

Setelah melakukan pemerikansaan menyeluruh, dokter tidak memperbolehkannya pulang. Aku dan Wendi baru menyusul sekitar tiga hari kemudian setelah kami libur sekolah.

“Kulihat kau tak pernah lagi bergaul dengan Leo.” Kata Anin tiba-tiba. “Ada dengan kalian?”

Aku duduk di samping tempat tidur rumah sakitnya, berbaring dengan kedua tangan bersidekap. Mami dan Wendi sedang keluar mencari wartel terdekat dari rumah sakit, ia bilang Mami perlu bicara pada Kara yang saat itu masih tinggal di Pekanbaru dan sedang stress menjelang Ujian Akhir Nasional tingkat SMA. 

“Kupikir kau tak pernah memperhatikan.” Aku menyingkirkan tangannya ketika Anin mencoba membelai rambutku. Kenapa aku melakukannya?

“Bodoh.” Katanya tergelak.

Aku menghembuskan napas, menopang daguku bosan, dan melihat kakakku. Berbicara mengenai Leo membuatku berpikir bahwa selama ini aku egois, menjalani jenis kehidupan ala Huckleberry Finn di luar sana bersama teman-teman remajaku dan para sepupu, sementara mimpi buruk sebenarnya tengah terjadi di rumah kami. Aku merasa bersalah karena mengabaikan semua ini, walau di satu sisi kadang-kadang aku merasa berhak menjalani kehidupanku yang lain, yang sebisa mungkin kuusahakan agar tak tersentuh kegelapan yang bersumber dari atap rumahku.

“Ibunya bilang dia ke Bogor, ikut program pencarian bakat di salah satu Sekolah Sepak Bola.”

Lihat selengkapnya