Sebelum perjalanan itu dimulai, dari waktu-kewaktu setelah Anin diperbolehkan pulang ke rumah. Ada ketidakpastian yang menggantung memenuhi udara rumah kami. Yang terkadang membuat kami kehilangan kata-kata untuk memulai perbincangan di meja makan. Memisahkan kami dalam kesunyian kami masing-masing.
Sebuah entitas asing tak terlihat yang membuat keluargaku tidak lagi sama. Menjebak kami dalam sebuah jeda panjang bersama ketakutan dan penantian yang misterius. Bergiliran dengan naik-turunnya kondisi kesehatan Kakakku. Sebuah sihir yang memudarkan semua warna di rumah keluarga kami.
Siklus hidupku tidak lagi sekolah-rumah-dan-nongkrong. Kadang-kadang aku harus tinggal di rumah sakit, mengawasi Wendi, sementara Mami lalu-lalang kesana-kemari menemani Anin dan tes-tesnya dari satu laboratorium ke laboratorium lain, dari satu ruangan ke ruangan lain sambil setengah berlari mengikuti troli dimana kakakku terbaring dalam gaun rumah sakitnya, mencoba mengingat-ingat apa yang dokter katakan dengan istilah-istilah medisnya yang rumit.
Suatu malam, ketika aku tidur di depan televisi karena terlalu takut sendirian berada di kamar, sementara Wendi dan Mami di rumah sakit, dan Papi mendengkur di sisi lain ruangan itu, aku terbangun karena mendengar pintu lemari pakaianku terbuka. Mengirimkan bunyi kerekat engsel yang khas dan memecah kesunyian dini hari yang mencekam. Sebuah suara yang terdengar biasa saja di siang hari bolong.
Di sekolah, aku melamun di ruang ganti anak laki-laki sementara murid-murid yang lain mengantri di bawah shower dan tertawa-tawa saling adu menyabet handuk, seharusnya aku bersiap-siap dan bergegas mengikuti kelas lainnya setelah jam olah raga pagi itu. Tapi aku tak mampu mengalihkan perhatianku dari lemari pakaianku tadi malam.
Ketika semua murid laki-laki pergi dan hanya tinggal aku sendirian di ruang ganti itu, dengan handuk melilit di leher, dan kaus olahraga yang setengah terpasang, aku memikirkan penyangkalan yang kulakukan sejak malam tahun 1992 di rumah kayu transmigran reyot milik nenekku, dengan selang waktu sepuluh tahun pada Maret 2002 ketika orang-orang membawa Anin ke dalam ambulan. Bahwa bersama semua sihir gelap yang ia tebarkan di tiga belas tahun pertama kehidupanku sebagai anak laki-laki, di balik pintu lemari pakaian itu, monsterku terasa jauh lebih hidup dan lebih nyata dari sebelumnya.
*
Ada jenis ketakutan lain yang lebih menyesakan dari monster, sungai puraseda, dan masa depan. Hal ini bisa demikian mudah melumpuhkanku, tak peduli apa yang tengah kulakukan ketika pikiran ini mendadak datang dan menghilangkan semua harapan-harapan.
Meskipun aku tidak lagi berumur 14 tahun, hidup ini tetap saja terasa terlalu besar dan terlalu misterius.
Aku jadi teringat beberapa film yang kusaksikan dengan beberapa sepupuku. Biasanya pada musim liburan di penghujung dekade 90’an. Meskipun kami sudah menjadi pelanggan tetap rental VCD di seberang bangunan Balai Desa, tetap saja tempat pengap dan berbau aneh itu tidak memiliki cukup banyak film yang kami pikir perlu kami tonton. Ketimbang menyewakan banyak film klasik dan sinema eropa, mereka lebih banyak menyediakan film laga kelas B yang dibintangi pria-pria sok keren yang tak pernah berkeringat, selalu memakai singlet, dan berbicara dengan logat yang sangat tidak alami.
Jadi di salah satu minggu liburan kali itu, salah satu stasiun televisi swasta menyiarkan sebuah film berjudul The Cure yang dibintangi alumni Jurassic Park, Joseph Mazello, dan mendiang Brad Renfro yang sebelumnya membintangi The Client bersama Susan Sarandon. Kami pikir sebagaimana film-film lain yang ditayangkan sepanjang minggu itu, The Cure bakal menawarkan petualangan seru, penjahat-penjahat bodoh, dan perangkap mematikan yang mengandung komedi slapstick teramat jitu yang akan mengundang derai tawa kami. Rupa-rupanya, film itu bercerita tentang dua orang sahabat dan sebuah penyakit mematikan yang konon katanya tak bisa disembuhkan. Umurku baru sebelas atau dua belas tahun. Kami belum terlatih dengan melodrama hollywood. Setengah jam kemudian, didesak oleh potongan iklan menyebalkan yang terlampau panjang dan melelahkan, aku dan beberapa sepupuku memutuskan main di luar dan berhenti nonton film itu.
Film itu seringkali ditayangkan ulang pada tahun-tahun berikutnya. Aku ingat Anin dan Kara memaksaku tinggal di rumah dan menonton film itu bersama mereka. Waktu itu kubilang aku tidak nonton film-film cengeng yang mereka sukai. Kara melemparku dengan bantal duduk dan mengataiku “Monyet!”.
Aku menjulurkan lidah dengan ekspresi mengejek sebelum membanting pintu depan keras-keras dan menghampiri kawan-kawanku yang sudah menunggu di seberang pagar rumah kami. Salah seorang di antara mereka menjinjing bola sepak bekas dengan lapisan kulit mengelupas yang setengah kempis.
Delapan belas tahun kemudian, aku menemukan kesempatan untuk menonton ulang film tersebut. Walau berdasarkan kompromi ingatanku, sejujurnya aku tidak berharap banyak dari segi kualitas atau apa. Aku hanya tergelitik untuk mengetahui masih adakah adegan-adegan ikonik yang aku ingat dari film tersebut? Ingatkah aku apa yang kulakukan saat menontonnya dulu? Apa yang kurasakan kala itu? siapa yang berada bersamaku di ruangan itu di depan televisi tabung yang seringkali tak becus menangkap gelombang siaran karena perbukitan yang mengelilingi lembah tempat kami hidup terkadang benar-benar mengisolasi kami dari dunia luar, tak peduli sebagus apapun televisi yang kau miliki.
Tapi yang mengejutkan, di luar bayanganku selama ini, The Cure adalah sebuah film yang luar biasa. Dibintangi jajaran aktor yang mampu menghidupkan karakter-karakternya yang brilian. Kemistri yang luar biasa antara Renfro dan Mazello. Serta isu HIV-AIDS yang dibawa film itu nyaris dengan kepolosan yang diwakili karakter-karakternya, jauh lebih berarti dan bermakna dalam saat aku menontonnya ketika aku dewasa. Dalam satu adegan ketika Mazello terbangun bersimbah keringat, dari mimpi buruk tentang alam semesta yang anehnya mirip dengan sumber ketakutanku saat aku seusia karakternya di film itu, membuatku benar-benar trenyuh dan menitikkan air mata.
Intinya, aku hanya ingin mengatakan bahwa terkadang kita cenderung mendambakan belas kasih sang waktu tanpa sepenuhnya kita sadari, untuk melihat kualitas sebenarnya dari sesuatu.
Atau seseorang.
Atau lagu yang kita dengar sambil lalu dari pengeras suara pusat perbelanjaan, film-film yang kita pikir pernah kita lihat saat masih kanak-kanak, buku-buku yang pernah selesai kita baca karena terpaksa, puisi yang pernah dibacakan seseorang di depan kelas, atau bahkan hidup kita sendiri.
Jenis ketakutan itu terbilang baru karena aku tak memilikinya ketika aku jauh lebih muda. Aku hanya berpikir bahwa hidup ini terlalu menghadirkan begitu banyak pertanyaan dan misteri. Sementara aku tak memiliki waktu sebanyak itu untuk menantikan pemahaman menyeluruh yang secara umum kerap datang terlambat meski selalu menggugah dan mencerahkan.
Aku takut aku bakal kehabisan waktu sebelum mampu memahami semua hal penting itu. Yang akan menjadi harga mati apakah hidupku bermakna atau berakhir sia-sia.
Karena aku tak ingin hidupku menjadi sekedar lelucon. Saat aku mengetahui bahwa sebenarnya selama ini aku melakukan hal yang sama dengan para penggosip, musuh-musuhku, bahkan keluargaku sendiri: bertanya-tanya siapakah diriku sebenarnya?
Apakah aku harus menunggu delapan belas tahun lagi hingga aku memperoleh jawabannya?
*