Perjalanan Bogor-Bandung itu kami tempuh lebih lambat dari yang seharusnya. Papi memutuskan bahwa kami tidak akan merepotkan kerabat-kerabatnya.
Maka sebelum memasuki pusat kota, kami berbelok dan parkir di sebuah wisma keluarga. Menyewa sebuah kamar tidur dengan dua ranjang ukuran jumbo dengan pemandangan yang mengarah ke tempat parkir, sebuah kulkas mini, televisi 14 inci tanpa remote kontrol yang dipasang di langit-langit, serta kamar mandi dengan kloset duduk dan bathtub bergaya 80an yang kami gunakan bergantian.
Anin dan Wendi berjalan-jalan di halamannya yang mungil dan bertabur kerikil. Tangan mereka saling bertautan karena Anin masih tak bisa melihat dengan jelas. Kara langsung menghempaskan diri di salah satu ranjang dan mendengkur keras tanpa melepaskan jaket belelnya terlebih dahulu. Papi duduk di kursi plastik di depan kamar kami, tenggelam di balik koran paginya seraya menyesap kopi panas yang dibelinya dari sebuah swalayan di seberang jalan. Sementara walau suara pancoran air terdengar berisik, aku bisa mendengar Mami bernyanyi di kamar mandi.
Mendadak aku tersadar, meski tak ada perubahan berarti terkait SJS yang diderita Anin, semua keluargaku tampak begitu lepas dan menunjukkan gejala-gejala yang tak pernah kusaksikan saat kami sedang di rumah. Terutama setelah Kara datang dari Pekanbaru dan sehari kemudian Anin diperbolehkan pulang dari Rumah Sakit Umum di Bogor.
Betapa naifnya aku kehilangan kesempatan untuk mengagumi momen singkat yang tengah kami alami saat itu. Betapa semua belenggu dan horor yang mengikat kami selama setahun lebih sejak dokter memvonis Kakakku, terasa begitu remeh dan sia-sia. Seakan-akan kami akan menjalani versi lain seperti pagi itu, lagi dan lagi sepanjang hidup kami.
Betapa tak berdayanya kesedihan dan ketidakpastian ketika kami bersama-sama. Berada di sana untuk satu-sama-lain. Mengeluarkan sisi terbaik kami dan menghalau monster apapun yang berani-berani merenggut apa yang menyatukan kami saat itu.
Atau barangkali kenaifanku hanya berada di tempat yang salah. Karena barangkali aku hanya luput memerhatikan, bahwa seindah dan seterang apapun hari-hari baru yang datang kemudian; sejelas apapun tanda-tanda kepulihan yang terlihat pada diri Kakakku dari waktu-kewaktu; serta selebar apapun tawa yang kulihat di wajah Mami & Papi.
Tetap saja semua harapan-harapan yang hadir saat itu pada akhirnya nanti akan terbenam menjadi masa lalu.
*
Selain memenuhi undangan salah satu sepupu Papi yang menikahkan putri selebritinya, perjalanan kami ke Bandung juga merupakan salah satu ikhtiar yang diputuskan kedua orang tuaku untuk mencari alternatif pengobatan bagi penglihatan Kakakku. Perjalanan ini juga kami lakukan untuk menenangkan hati Nenek. Berdasarkan kabar yang tersiar dari mulut ke mulut, hal ini juga diakui salah satu kerabatnya di Bandung, ada seorang Tabib tersohor yang telah menyembuhkan berbagai penyakit menggunakan metode doa, ramuan tradisional, yang tentu saja bergantung pada kesalihannya
Pencapaian puncaknya adalah mengobati penyakit impoten salah satu selebriti Ibu Kota. Baru-baru ini ia juga disebut-sebut berhasil mengembalikan suara seorang biduan dangdut senior yang divonis mengalami kerusakan pita suara permanen. Semuanya terdengar seperti isapan jempol tabloid, tapi disinilah kami pada akhirnya.
Selepas magrib kamar kami menjadi demikian bising, berantakan, dengan seorang Ibu dan tiga anak gadis yang tengah sibuk saling mendandani satu sama lain.
Kara meneriakikku agar tetap diam diluar ketika aku membuka pintu kamar dan menyuruh mereka buru-buru. Ia tengah sibuk memoles wajah Anin dengan make-up dan pemoles bibir warna peach, ketika Mami dengan sisir menempel di rambutnya, tengah mempreteli kepang rambut Wendi yang kusut lantaran dibiarkan basah saat mandi. Keempatnya masih jauh dari kata siap.