Memori Minggu Pagi

Mulya Abdul Syukur
Chapter #24

Merencanakan Perjalanan-perjalanan yang Tidak Akan Pernah Kita Lakukan

Wendi mungkin tidak serta-merta memahaminya saat itu. Walau ketika aku tumbuh dewasa, kata-katanya tiba-tiba mulai berwujud sesuatu.

Ada kalanya bertahun-tahun kemudian, baik aku dan Wendi kebingungan ketika kami mengambil keputusan-keputusan besar dalam hidup kami. Ketika satu hal tidak akan memenangkan Mami, dan hal lain akan menyakiti hati Papi. Serta bagaimana tarik-menarik keduanya kian terasa nyata.

Suatu kali Mami pernah menuduh bahwa aku mewarisi keraguan-raguan ayahku. Sementara di waktu lain, meskipun tidak pernah secara terang-terangan direspon ayahku dengan sikap penolakan, ia pernah mengomentari bagaimana aku terkadang cenderung mengadopsi sikap impulsif ibuku.

Aku lupa saat itu aku umur berapa. Tapi terkadang lemari pakaianku adalah tempat yang jauh lebih menenangkan dari rahim ibu dan buaian ayah. Aku akan menarik diri dan bergelung di dalamnya.

Dalam kondisi antara tidur dan terjaga, terkadang aku merasakan kehadiran monsterku perlahan-lahan di antara sweater rajut, jaket, setelan, baju dinas Papi, gaun-gaun ibuku, dan seragam-seragam sekolahku yang digantung. Aku bisa merasakan derakan napasnya yang berisik, bulu-bulu di lengannya yang begitu lebat, dan tatapan matanya yang penuh keingintahuan terarah sepenuhnya padaku di dalam kegelapan.

Aku mungkin diciptakan dari setengah bagian ibuku dan separo bagian ayahku. Lalu bagaimana mungkin aku mampu mewarisi sifat keduanya secara sempurna pada saat yang bersamaan?

Pada pertengahan tahun 2017, seseorang pernah bertanya adakah hal lain yang paling aku takutkan dalam hidupku. Saat itu usiaku sudah melampaui seperempat abad. Aku sudah sepenuhnya melupakan kebiasaanku bersembunyi di dalam lemari pakaian ketika aku masih berjinjit di jendela dan menganggap bahwa New York dan Jepang adalah seluruh dunia.

“Aku takut harus menjadi orang yang bukan diriku agar diterima keluarga dan masyarakatku.” Tatapanku mengambang. “Aku takut menjadi orang lain.”


*

Dulu, sangat mudah bagiku untuk terbuai kisah-kisah heroik tentang penjelajahan ke antariksa, ke dasar bumi, atau perburuan tentang kota-kota yang hilang.

Aku memulai ketertarikan itu sejak aku berumur sebelas. Mami seringkali akan menemukanku di ruang tamu, telungkup di depan buku klipingku yang terbuka, dengan botol lem yang lumer, kipas angin yang menyala, dan koran-koran Papi yang berserakan di banyak tempat.

Awalnya aku tak pernah memiliki aturan, tapi suatu hari Papi pernah menghukumku karena membabat habis koran Kompas-nya yang baru berumur setengah hari. Karena itu di kemudian hari aku hanya diizinkan menggunting koran-koran minggu sebelumnya atau lebih, untuk memenuhi buku klipingku dengan rubrik ilmiah atau berita-berita menggemparkan dari seluruh dunia.

Ketika aku melihat kembali kebiasaanku bertahun-tahun kemudian, pada salah satu libur semester genap tahun keduaku di universitas, aku duduk di ruang tamu dengan buku kliping yang sama terbuka di pangkuanku. Mami bilang ia menemukannya ketika hendak menjual majalah-majalah Trubus lama milik ayahku.

Kliping itu seperti monumen kepolosan yang menyembunyikan guratan-guratan catatan kecil di sana-sini, yang beberapa sudah tidak lagi terbaca, tidak lagi kukenali sebagai tulisanku, dan kehilangan maknanya sejak bertahun-tahun yang lalu. Guntingan-guntingan koran menguning yang tidak rapi, kebanyakan bertanggal akhir 90an dan awal 2000an. Aku bahkan tertawa dengan mata berkaca-kaca saat melihat betapa buruknya tanda tanganku saat itu. 

Selain hasrat untuk mencintai, dicintai, bercerita, dan mendapat pengakuan. Di setiap lembaran buku kliping itu aku melihat bagaimana aku tumbuh menjadi diriku saat ini; diriku yang kerap diliputi kecurigaan pada siapapun, ketakutanku akan penghakiman orang-orang, dan penolakanku terhadap gagasan menjadi bagian dari masyarakat. Melalui kisah-kisah planet baru yang ditemukan, Nekropolis kuno yang tersembunyi di dalam gua tropis, Conquistador yang pemberani, ceroboh dan keras kepala, yang pada akhirnya sebagian besar tidak pernah kembali dari penjelajahan mereka.

Rupanya sejak belia diam-diam aku telah memuja kebebasan dan gagasan-gagasan tentang petualangan mendebarkan. Sejak dini aku telah mengembangkan dan memupuk hasrat yang sebenarnya bertujuan untuk melarikan diri.

Dari versi diriku yang ingin kulupakan, dari orang-orang yang berpura-pura mengenalku, dan dari rangkaian mimpi-mimpi buruk yang kualami saat tidur dan terjaga.

Sesuatu yang mempengaruhiku secara fundamental hingga bertahun-tahun setelahnya.


*

Tapi meskipun aku tidak selalu memiliki pandangan yang sama dengan Papi dan Mami. Rasa cintaku terhadap mereka melebihi apapun yang pernah kurasakan terhadap mereka.

Ada saatnya dalam hidupku ketika aku tidak melakukan panggilan telepon sama sekali walaupun Mami dan Papi masing-masing memiliki ponsel. Itu terjadi saat aku masih jauh lebih muda. Sepenuhnya termakan ego dan ambisiku yang meluap-luap tak terkendali. Dan hasrat untuk terhindar dari kontrol dan kekangan sistem lain selain diriku sendiri. Tapi ketika aku berangsur-angsur tumbuh dewasa, aku menelepon Mami seminggu atau dua minggu sekali. Atau kadang-kadang Mami meneleponku lebih dulu. Pada saat yang sama pendengaran ayahku sudah semakin menurun dari waktu-kewaktu, terutama setelah Papi melampaui usia 60 tahun dan tidak lagi bisa bepergian jarak jauh dengan sepeda motornya. Sekalipun kami terhubung dalam sambungan telepon, sulit melakukan komunikasi dua arah bahkan kalau aku harus sedikit meninggikan suaraku walaupun aku akan selalu merasa berdosa karena melakukannya.

Karena itu Mami yang akan selalu menerima panggilan meskipun saat itu Papi sedang mengunakannya untuk bermain gim luring sederhana.

Sementara Ibuku, tak peduli sebanyak apapun Wendyi mengajarinya, seringkali lupa menekan tombol ‘putus’ setelah kami sama-sama menyepakati untuk menutup sambungan telepon dan saling mengucap salam. Karena itu aku akan tetap mendengar apa yang ia lakukan setelahnya. 

Suatu hari aku menelepon mereka pagi hari dari bilik toilet sebuah hotel bintang tiga ketika aku bekerja freelance sebagai interpreter atau Liasion Officer, aku tidak yakin yang mana satu. Setelah bertanya bagaimana pekerjaanku, apakah aku hampir menyelesaikan buku ini, atau apakah aku tidak lupa men-servis sepeda motorku bulan ini, ia lagi-lagi lupa memutus sambungan telepon.

Terkadang aku sengaja membairkannya terhubung. Karena aku tahu sesaat setelah Mami selesai menelepon, Papi akan selalu bertanya padanya apa yang kami obrolkan, bagaimana kabarku hari itu.

Di dalam bilik toilet sepi itu aku duduk di atas kloset dengan ponsel masih menempel di telingaku, memejamkan mata sejenak, dan mendengar kedua orang tuaku mengobrol lirih tentang diriku. Yang selalu kutunggu-tunggu adalah pertanyaan Papi. Bagianmana mana dari hidup putranya yang ingin ia ketahui? Apa yang ia khawatirkan tentang diriku? Apa yang kulakukan hari itu? Pertanyaan-pertanyaan yang tak pernah mampu ia ajukan padaku selama ini secara langsung.

Aku akan selalu tenggelam dalam melankolia yang menyesakkan. Biasanya aku akan menutup sambungan telepon ketika aku sudah berderai air mata, walaupun hal itu tidak selalu terjadi.

Lihat selengkapnya