Belakangan aku kepikiran saat menulis bagin akhir ini, lebih tepatnya ketika aku membuang-buang waktu dan berdalih bahwa aku sedang mengalami writer’s block walaupun sebenarnya aku tengah kebingungan bagaimana mengakhiri semuanya.
Seringkali aku bertanya-tanya, kalau saat ini Anin masih hidup, buku macam apa yang akan ia tulis? Barangkali ia akan memberikan detil naratif karena ia adalah orang pertama yang mengalami semua itu? Lalu ia akan bercerita tentang cowok-cowok yang ditaksirnya semasa rentang waktu masa kuliahnya yang terbilang singkat. Dan bercerita lebih banyak tentang situasi keluarga kami saat itu. Lalu pada bagian akhir, buku Anin akan memiliki ending yang berbeda dengan buku yang saat inikau pegang.
Kalau memang kakakku masih hidup, kurasa aku tak harus menulis buku ini. Tapi sulit untuk tidak bertanya-tanya, kira-kira aku akan jadi apa kalau sejak awal hidup kami berbeda? Alih-alih menulis buku, kira-kira apa yang akan kulakukan? Alih-alih berada di pekanbaru, kota kecil yang jarang sekali diperhatikan kecuali kasus kabut asap, korupsi, dan kerusakan lingkungannya, kira-kira dimana aku berada kalau aku adalah aku yang lain?
Seringkali aku mencoba menjadi Anin ketika aku menulis. Memposisikan diriku dalam posisinya ketika semua huru-hara itu terjadi. Walau selalu gagal karena aku bakal merasa berkhianat pada diriku sendiri dan menulis berlembar-lembar kebohongan.
Kalau Anin bisa melihatku saat ini jauh di atas sana, dalam gambaran alam baka yang kukembangkan sejak aku kehilangan sosoknya dalam realitas fisikku, aku yakin bukan itu yang dia inginkan.
Anin tak pernah menginginkanku menyelesaikan buku ini dengan caranya.
Anin menginginkanku mengakhirinya dengan caraku.
*
Seringkali aku terserang rasa panik tiap kali mengingat detil-detil yang terjadi November 2004 itu.
Panggilan tiba-tiba di tengah-tengah jam pelajaran. Perjalanan naik angkot yang tidak pernah benar-benar kuingat. Rumah sakit. Bangsal-bangsal hampa bercat putih. Dan tempat tidur logam di bawah daun jendela terbuka dimana kakakku berbaring.
Mami duduk di samping tempat tidur itu, berantakan, di atas kursi lipat logam dengan bantalan busa yang menyembul keluar dari sobekan memanjang yang rapi. Yang terlihat seperti dibuat dengan goresan pisau silet yang dalam.
Ketika aku masuk, pemandangan itulah yang kulihat. Hal pertama yang kurasakan, betapa tak berdayanya aku menghadapi situasi itu. Bahwa seumur-umur aku tak pernah dilatih dan dipersiapkan menghadapinya.
Mami menghambur ke arahku. Ransel kanvasku meloloskan diri dari bahuku dan terkapar di ubin putih yang bocel-bocel penuh goresan.
Aku belum menangis. Lebih tepatnya aku tidak bisa menangis.
Bahkan ketika Mami meremas kedua pundakku, memapahku perlahahan-lahan, seperti seorang pesakitan yang digiring ke tempat penjagalan, lalu mendudukanku perlahan-lahan di kursi lipat yang baru saja didudukinya beberapa saat yang lalu.
Mami duduk di sisi tempat tidur, ketika aku menatapnya penuh tanya: apa yang harus kulakukan?
Kemudian pandanganku perlahan-lahan turun pada kakakku, yang berbaring di atas dua bantal, dengan kedua pergelangan tangan terbalut perban karena tubuhnya sudah menolak infus. Gaun rumah sakitnya yang tipis. Wajahnya yang entah bagaimana sudah kehilangan warna yang kukenal. Dan kedua matanya yang seperti biasa tertutup. Hanya saja kali ini terlihat begitu rapat.
Anin masih bernapas. Anin masih hidup. Kesadarannya berangsur-angsur mulai memudar. Kata-katanya terdengar tanpa arti.
Seringkali ia mengulurkan salah satu tangannya ke atas, dan berkata bahwa ia ingin pulang dalam gumaman yang seringkali sulit dipahami.
Anin sudah melupakan namaku berjam-jam yang lalu.
Tapi saat sebelum ia kehilangan kemampuan bicaranya, ia berbisik pada Mami. Satu-satunya orang yang masih dikenalinya saat itu, bahwa ia ingin bertemu dengan adik laki-lakinya. Tapi ia tidak bisa mengingat namaku?