Aku tidak tahu caranya menulis bagian ini. Itu fakta. Seringkali, ketika aku terjebak dalam satu fase pengulangan yang sebagaimana disepakati oleh sebagian besar orang sebagai writer’s block, aku kehilangan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menumpahkan kata-kataku dalam tulisan.
Belakangan aku sadar bahwa writer’s block hanya sebuah istilah. Bodohnya aku kalau menyalahkan ‘istilah’ dan berlindung di baliknya untuk berleha-leha, mencari kesibukan-kesibukan yang tidak perlu, dan mangkir dari kewajibanku menyelesaikan bab ini.
Karena kupikir aku akan menulis dengan cara yang baik dan layak hanya dalam waktu dan kondisi tertentu. Yang artinya aku baru saja mengolok-olok diriku sendiri bahwa sebenarnya selama ini aku bergantung pada sesosok hantu yang merasukiku untuk menulis berlembar-lembar prosa, bukannya bergantung sepenuhnya pada keterampilan terasah yang telah kumiliki dan bisa kugunakan kapan saja.
Writer’s block mungkin salah satu godaan setan yang setara dengan hasrat tidak senonoh lainnya yang kadang-kadang mengalihkan kita dari kehidupan yang harus kita jalani. Dari kalimat-kalimat yang harus kita selesaikan. Dari tugas-tugas tertunda yang menghambat lajunya sirkulasi hidup yang sehat.
Ketika akhirnya aku duduk menghadapi laptopku, menjejali bab ini dengan paragraf-paragraf yang lebih dimaksudkan untuk menebus rasa bersalahku ketimbang untuk menyelesaikan cerita tentang bocah laki-laki pemurung dan monster dalam lemari pakaiannya.
Kisah keluargaku memang belum selesai. Tapi tetap saja aku harus mengakhiri buku ini di satu titik. Entah dengan cara yang tragis, mengharukan, atau spektakuler.
*
Setelah mangkir kuliah selama nyaris dua tahun, aku mendaftarkan diri dengan ragu-ragu ke fakultas komunikasi. Berharap kali ini akan sedikit beruntung menemukan habitat yang tepat untuk menghidupi kegelisahan dan kekosongan dalam hidupku.
Aku menekuni hal-hal baru yang cukup menggairahkan. Di antaranya belajar membuat film pendek dengan kaset-kaset Mini DV, menulis kreatif, dan lebih banyak menonton film dan menenggelamkan diri dalam buku-buku, terjebak dalam kisah-kisah orang lain. Namun pada saat yang sama, sadar atau tidak aku berhenti menjalani satu babak dalam hidupku. Lebih tepatnya aku berhenti bicara pada kedua saudariku. Kara dan Wendi.
Semua terjadi begitu saja. Sealami Oposisi Mars, Blood Moon, atau hujan meteor musiman. Sejujur pasang-surut air laut, telur-telur ayam yang menetas di dalam eraman induknya, dan setragis lempengan bumi yang sesekali menari dalam irama kosmik.
Hidup memisahkanku dari keduanya, nyaris pada saat yang bersamaan.
Walau ketika satu persatu mereka melangsungkan pernikahan, dalam caraku memeluk mereka erat-erat, aku tahu mereka menangkap apa yang coba kuutarakan tanpa kata-kata. Betapa rindunya aku pada masa kecil kami, pada saat-saat di masa lalu ketika kami begitu bahagia sebagai kakak-beradik.
Kara mungkin absen hampir di sebagian besar masa kanak-kanakku. Tapi aku telah mengenalnya sebagai bayangan Anin, sejak aku mampu mengingat, berlajar mengucapkan kata pertama, dan belajar berjalan di bawah atap rumah kami dimana dirinya, Anin dan Wendi, juga mendapatkan perlindungan dan pemeliharaan yang sama dari kedua orang tua kami yang istimewa.
Wendi dan Kara telah mengambil haluan masing-masing, yang berbeda dengan cara hidup yang kujalani selama ini. Tapi jauh di dalam diriku, dalam caraku menulis cerita dalam lembaran-lembaran buku ini, aku ingin mereka tahu bahwa akan ada selalu ruang di dalam diriku dimana aku menyimpan kenangan tentang masa kecil kami baik-baik. Dalam sebuah kapel pemujaan yang suci dan sakral.
Karena itu tak peduli setragis dan sefenomenal apapun masa depan yang akan kujalani tanpa mereka, babak hidupku bersama saudari-saudariku tak akan pernah tergantikan.